Cerita Desa Gondo Mayit, Sebuah Desa Yang Menggandakan Manusia Kepada Iblis
“Edan yo opo?” (Gila bagaimana?) saya bertanya. penasaran.
“yo opo gak Edan, bendino onok ae sing mati. nek gak mati, jarene tondo balak”
(bagaimana gak gila, setiap hari selalu saja ada seseorang yang mati, kalau tidak ada yang mati, katanya justru mengundang musibah).
percakapan kami sahut menyahut. membuat saya semakin penasaran, sampai, pendangan saya teralihkan ketika motor Honda RC hitam, baru saja berhenti.
Mas Erik. Sosok yang juga saya kenal cukup akrab, datang, duduk dan memesan kopi, disini, saya melihat mas Damar melihat mas Erik.
“Rik, iki loh, ceritakno cerito sing awakmu ambek aku jaman kuliah biyen, sing nyasar gok Desa gondo mayit” (Rik, ini loh, ceritakan cerita kamu dan aku yang jaman masih kuliah, waktu kita nyasar di sebuah Desa bernama Gondo Mayit), wajah tenang mas Erik tiba-tiba telah berubah, mengisyaratkan ketidakenakan, dan saya bisa menangkap raut ngeri tersebut dari alisnya.
mendengar hal tersebut, saya pun langsung memohon, sejujurnya, saya paling suka mendengar cerita-cerita seperti ini, toh saya sudah gak asing lagi dengan hal-hal seperti ini.
Awalnya, mas Erik tampak enggan menceritakan, berbekal bujukan bahwa saya yang akan bayar kopi di tambah rokok, untuk cerita
Ini, saya pun, menyanggupi.
Disinilah, saya melihat mas Erik, menunjuk sesuatu. arah Utara dari kota pahlawan ini, saya mengernyitkan dahi.
“Eroh daerah T****S gok kidule gunung P*******N??” (kamu tau daerah ****** di utara gunung *********??)
Saya mengangguk.
“Yo, gok kunu Desone”
Mas Damar baru saja di tunjuk untuk menjadi ketua Mapala periode tahun 2011-2012, di universitas t**** b**** a******, salah satu Universitas yang cukup ternama di kota ini.
menjabat menjadi ketua pada semester 6 bukanlah hal bijak, terlebih ketika ada agenda, bahwa bulan juli,
akan ada projek untuk mendaki puncak Mahameru, dimana 4 universitas bersama Mapala mereka akan bergabung
Disinilah, mas Damar membuat suatu acara dadakan untuk mempersiapkan kesanggupan team mereka pada bulan juli, tetapi, tak satupun anggota sanggup, karena bertepatan dengan UTS karena minimnya persiapan, mas Damar pun berinisiatif untuk melanjutkan agendanya, meski bila harus seorang diri. mas Erik, dan ketua Mapala sebelumnya pun akhirnya ikut bergabung. karena toh ini untuk nama Universtas mereka, dan disinilah mereka dapat satu tempat yang sudah di rasa cocok.
PASARAN |
KLIK |
|
PASARAN SYDNEY |
81 84 89 86 91 94 96 61 64 69 |
|
PASARAN COLOMBO |
34 32 35 36 54 52 56 64 62 65 |
|
PASARAN SCOTLAND |
73 75 78 53 57 58 93 97 95 98 |
|
PASARAN SINGAPORE |
27 24 25 29 47 45 49 97 94 95 |
|
PASARAN JAMAICA |
80 81 87 89 40 41 47 90 91 97 |
|
PASARAN UGANDA |
81 84 86 51 54 58 56 61 64 68 |
|
PASARAN HONGKONG |
40 41 46 48 10 16 18 60 61 68 |
|
PASARAN KENYA |
54 58 52 84 58 52 24 25 28 22 |
|
PASARAN SLOVAKIA |
13 19 18 15 83 89 85 93 98 95 |
mobil mereka berhenti di salah satu pos yang sudah tidak asing lagi bagi mereka.
menunggu, setidaknya itu yang di lakukan mas Damar, karena bagaimanapun laporan tersebut sangat penting terutama untuk menghindarkan dari hal-hal yang tidak di inginkan.
Namun, satu-jam dua jam telah berlalu, dan masih belum ada satu batang hidung pun yang muncul, hal itu, membuat mas Erik gusar
Bimbang. itu lah yang mas Damar pikirkan. bukan sekali dua kali hal ini terjadi, namun satu yang mas Damar ingat.
Hal-hal seperti ini biasanya di iringi dengan petaka yang buruk di langkah selanjutnya, namun, Erik benar. tidak ada yang tau kapan petuas tersebut akan kembali. Nekat. mas Damar dan mas Erik pun akhirnya melangkah masuk ke dalam hutan, bersiap untuk menyambut Penghuni yang sudah menunggu mereka. Jam sudah menunjukkan pukul 8 malam, seharusnya jalanan belum segelap ini, apalagi jalurnya sendiri masih tidak seberapa jauh dari pos pertama, tapi, malam itu lain, jalur itu lebih gelap dari seharusnya, yang lebih aneh, tidak terdengar satupun binatang malam yang ada di sekitar sana. Medannya memang cukup menanjak, seperti bukit setapak yang bila di telusuri lebih tinggi, namun masih bisa di tempuh dengan santai. disini, Erik yang memulainya.
“Huss. di jogo lambene, gak apik ngomong ngunu” (huss, di jaga mulutnya, tidak baik ngomong seperti itu) kata Damar.
Ada yang membuat Damar sedari tadi sangat tidak tenang, berjalan di belakang Erik, seharusnya tidak ada lagi siapapun di belakangnya, namun, bulukuduknya berdiri dari tadi bukan kali pertama Damar merasakan ini, selama dia mendaki gunung dan masuk ke hutan-hutan seperti ini, bulukuduk atau leher meremang sudah menjadi makanan sehari-hari, namun, perasaan ini sangat berbeda, seolah-olah, yang ini jauh lebih mengintimidasi.
Damar berhenti, di susul Erik.”Rik, Rik” panggilnya. Erik mendekat, menatap Damar yang leluasa mencari-cari pandang.
“opo?” (apa)
“Pitik”
“Pitik” (ayam) kata Erik mengulangi.
“krungu ora, onok suoro pitik” (denger tidak ada suara ayam)
Erik diam, mencoba mencuri dengar apa yang Damar dengar. namun, Erik menegaskan bahwa dirinya tidak mendengar adanya suara apapun kecuali angin yang berhembus di sela dedaunan.
“Ora onok” (gak ada)
mereka berpandangan untuk sepersekian detik, kemudian, melangkah cepat-cepat.
Ada hal-hal yang tidak sepatutnya di ucapkan atau di dengarkan, salah satunya adalah suara ayam.
mendengar suara ayam seperti pertanda sial bagi siapapun yang mendengarnya, terlebih di tempat ini.
Damar dan Erik memikirkan hal yang sama. “Kuntilanak” meski kalimat tersebut tidak di ucapkan, namun mereka sama-sama mengerti satu sama lain. yang menjadi pertanyaanya adalah, suara ayam yang di dengar Damar dan tidak di dengar Erik, menegaskan sesuatu.
Salah satu dari mereka,
sudah di sawang (incar) sedari tadi.
Degup jantung dan suara nafas terengah-engah menegaskan bahwa mereka sudah berjalan lebih jauh, berfikir bahwa mereka sudah aman, Erik lah yang kemudian mengatakanya, “janc*k!! ambu sembujo” (sialan, bau bunga Sembujo)
Mereka bertukar tatap tidak ada yang tidak mengerti Erik seperti Damar, umpatan atau kalimat tidak pantasnya biasanya menegaskan perasaan ketakutan, dan itu cara Erik untuk menekanya. namun, terkadang Damar merasa hal tersebut bisa mendatangkan hal sebaliknya. kadang, dunia mereka, menangkap pesan berbeda benar saja. suara ayam, bebauan bunga, kemudian berujung pada sosok di balik semak belukar. Erik lah yang pertama tau, namun, keinginan untuk memanggil Damar yang ijin untuk membuang air kecil, mendatangkan rasa penasaran yang sangat besar.
sosoknya tinggi, setinggi Erik. dia berdiri di bawah pohon rindang, berdiri begitu saja. mengenakan baju yang terlihat seperti kain. warnanya mencolok dengan kegelapan hutan. putih.
Erik terus melihat, tatapanya terkunci pada kepalanya, yang sedari tadi tergedek ke kiri dan kanan
setelah beberapa saat, barulah Erik mengerti, kepalanya tergedek bukan karena tanpa sebab, melainkan, tepat di lehernya, rupanya menahan berat kepalanya, apalagi bila lehernya patah
Saat itu, Erik sadar, sedari tadi, dirinya melihat sosok kuntilanak yang sering dia dengar ada di hutanumumnya, memang sering terdengar kabar, bahwa penghuni atau kasarnya, penunggu-penunggu di dalam hutan adalah korban-korban kecelakaan atau bencana-bencana yang tidak umum, kini setelah melihatnya dengan mata kepala sendiri, Erik akhirnya tau, bahwa mereka memang nyata Damar sudah kembali, mereka pun melanjutkan perjalanan, rencananya sendiri, mereka harus sudah menempuh setengah dari jalur pendakian, yang menurut Damar bila di lihat dari lama jam mereka berjalan, sudah tidak jauh lagi. Cerita Desa Gondo Mayit