Cerita Misteri Deso Gondo Mayit Bagian 3 (Tamat)
Kali ini gua akan lanjutkan cerita Deso Gondo Mayit bagian ke 3 (Tamat) tidak usah menunggu lama lagi langsung saja baca cerita di bawah ini, dan jangan lupa lihat sekliling kalian dulu mungkin kalian tidak sendirian baca cerita ini.
“Kate nang ndi to le”
(mau kemana nak?)
Mas Damar lah yang pertama maju. “Mbah, ngapunten. kulo bade mantok mbah” (mbah, mohon maaf, kami mau pulang)
“Muleh nang ndi” (pulang kemana?)
“Ten griya kulo mbah” (ke rumah saya sendiri mbah)
Si mbah awalnya hanya berdiri, namun perlahan-lahan, tubuhnya tertekuk, lalu membungkuk menatap mereka dengan senyuman paling mengerikan yang pernah mas Erik dan mas Damar lihat seumur hidup.
“Penyakitmu wes waras le?” (penyakitmu sudah sembuh kah nak?)
Mas Damar cukup terdiam lama, disini, mas Erik yang kemudian maju.
“Mbah, panjenengan sinten asline?” (sebenarnya anda itu siapa?)
Saat itulah, senyuman buruk rupa itu menjelma menjadi suara tawa yang membuat mas Erik dan mas Damar menggigil karena ngeri, bulukuduk mereka langsung berdiri, dan dada mereka berdetak sangat kencang.
“Deso Gondo Mayit” (Desa perenggut nyawa) kata si mbah, dengan langkah tertatih mendekati mas Erik dan mas Damar yang beringsut mundur, “sopo sing wes melbu Deso iki, ra bakal isok muleh le, wes, nurut’o omong si mbah”
(Saipa saja yang sudah masuk ke desa ini, tidak akan bisa keluar nurut saja sama ucapan saya)
Di tengah keheningan itu. Suara ayam yang lirih itu terdengar semakin sering, “krungu suoro iku le?” (kalian mendengar suara itu nak?)
“Eroh artine?” (tahu artinya)
Mas Erik dan mas Damar masih menjaga jarak dari langkah si mbah,
“Mayit” (Pocong)
Setelah mengatakan itu, seolah ada sesuatu yang membuat perasaan mas Erik dan mas Damar tidak enak.
Benar saja. tidak ada angin, tidak ada hujan, tiba-tiba terdengar suara pintu di banting dengan sangat keras sekali, masalahnya, adalah setelah suara bantingan tersebut.
Gubuk yang terbuat dari bambu itu, serempak terdengar suara gebrakan di semua sisi, si mbah tertawa semakin keras, nyali mas Erik dan juga mas Damar benar-benar di paksa sampai ke titik frustasi, karena tidak ada yang bisa mereka lakukan.
Seolah-olah kejadian ini seperti mimpi belaka. Suara-suara itu mengisyaratkan satu hal, di sekeliling rumah pasti ada sesuatu. Si mbah yang awalnya membungkuk, kemudian mulai terjatuh, terjerembab di atas tanah, dengan mata mendelik, melotot ke arah mas Erik dan juga mas Damar, si mbah mulai merangkak.
Kedua kaki si mbah seperti lumpuh, dirinya merangkak hanya menggunakan tanganya, dengan bibir yang komat-kamit entah apa yang di ucapkanya. si mbah terus mendekat.
Mas Damar sudah mulai melantunkan doa, meminta agar sesiapapun bisa menolongnya, mas Erik, hanya terdiam sembari meracau
“jancok!! jancok!!”
Saat itulah, tercium aroma familiar yang seolah menyadarkan mas Erik dan mas Damar, aroma itu adalah aroma Sembujo.
Aroma itu sangat menyengat. Semakin menyengat, suara ramai yang sedari tadi menciutkan nyali mas Erik dan mas Damar perlahan sirna.
“Gok mburi onok lawang rik” (di belakang ada pintu Rik) teriak mas Damar, mereka bergegas lari, dan si mbah masih berusaha mengejar
Di lihatnya kotak yang mas Damar lihat tadi, namun segera dirinya tepis pikiran-pikiran yang masih menyimpan tanda tanya, apa maksud dari kain kafan itu, yang dirinya lihat pertama dari halaman belakang rumah adalah berpetak-petak tanaman singkong.
Aroma sembujo masih tercium menyengat, anehnya, hanya mas Erik yang menciumnya.
“Melok aku Mar” (ikut aku Mar)
Entah terjepit atau apa, mas Erik merasa, aroma ini seperti memberinya jalan, Benar saja, langkah mereka perlahan menuju ke tanah hutan, pepohonan yang sedari tadi menjadi penanda perjalanan mereka kini mulai mereka telusuri. Mas Erik meyakinkan mas Damar, Desa itu di huni oleh Mayat.
Pertanyaanya adalah, kenapa mayat harus di kuburkan lagi.
“Kain kafan Rik. opo onok hubungane?” (kain kafan Rik, apa ada hubunganya?)
Mas Erik terlihat bingung.
“Gok kotak sing nang pawon, akeh kain kafan di tumpuk” (di kotak yang ada di dapur, ada banyak kain kafan)
Mas Erik dan mas Damar masih berpikir, sampai, ia baru sadar, di tempat mereka berdiri. mereka tidak sendirian lagi, dari balik pohon, banyak sekali sepasang mata yang mengawasi, dan setelah di perhatikan lagi, itu adalah sosok pocong, tidak hanya satu pocong namun hampir ada puluhan bahkan ratusan pocong, mas Damar dan mas Erik, terdiam mematung sendiri-sendiri
Mas Damar lah yang mendengar suara-suara mereka, “Tali pocong” “Tali pocong”
“Krungu ora Rik” (dengar apa tidak rik)
“Lrungu opo?” (dengar apa?)
“Tali pocong” (Tali mayit)
Setelah mendengar itu, mas Erik baru paham. “kuburan.” “kuburan mar,”
“Mayit’e tali pocong’e ”
(Tali pocong di mayatnya) “rung onok sing di bukak” (belum ada yang di bukak)
Mereka pun berlari, membiarkan pocong-pocong itu mengikuti, dan yang mengerikan, pocong pocong itu terbang di atas mereka.
“Kuburan’e nang ndi?” (kuburanya dimana?)
“Nang kono” (disana)
“Itu ngapain pocongnya ngikutin gitu mas?” tanya saya yang penasaran.
Mas Damar menatap saya, mencoba berpikir sebelum bilang. “Ini cuma asumsi sih, tapi kayanya ada hubunganya sama mbah mbah yang kami temui” jelas mas Damar,
Mas Erik seperti mengiyakan ucapan mas Damar, di tengah gelapnya hutan, mas Damar dan mas Erik gak berhenti berlari, alasanya, manusia normal mana yang gak ketakutan di ikuti hampir selusin atau lebih kain kafan terbang ke kiri dan kanan sembari mendengar mereka mengatakan tali pocong-tali pocong di sepanjang perjalanan.
Setelah menembus rimbunnya semak belukar dan naik turun di tanah menanjak, mas Erik menunjuk sebuah gubuk satu-satunya. mas Erik tau, gubuk itu penanda kuburan kembar tersebut.
Kenapa di sebut kuburan kembar, rupanya, ada 2 pemakaman yang sejajar dan hanya terpisah oleh pagar bambu.
Pasak yang di gunakan untuk setiap makam pun hanya pasak kayu, yang kebanyakan sudah lapuk tanpa ada penanda sesiapa saja yang di makamkan disana.
Disini keanehan terjadi. pocong yang sedari tadi terbang di atas mereka, tidak ada satupun yang terlihat lagi. Mereka lenyap, meski begitu. Suara ayam yang pernah mereka dengar dari jarak yang jauh, kini terdengar sangat dekat sekali. dekat sekali sampe mas Erik berasumsi, suara ayam itu kemungkinan berasal dari pemakaman ini. Masalahnya, dimana ayam itu sekarang.
Lain hal mas Damar, kini, dirinya bisa menciumnya, aroma sembujo yang hanya tercium di hidung mas Erik, kini tercium juga di hidung mas Damar. “Wangi” kata mas Damar, sembari melihat kesana-kemari, hingga, mas Erik menunjuk sesuatu, gundukan tanah, tempat pemakaman yang pernah mas Erik lihat.
“Gok kunu, mayit sing di kubur mau”
Semakin dekat, suara ayam terdengar semakin jelas, dan benar saja, dari jauh, terlihat seseorang sedang menggaruk-garuk tanah, di sekitarnya, banyak sekali di kelilingi ayam berwarna hitam legam.
“Ayam cemani” kata mas Erik, mereka melihat dari jauh apa yang siluet asing itu lakukan.
“ASU!!” teriak mas Erik saat siluet itu melihatnya. “Lah iku lak si mbah” katanya.
Bukan takut lagi, tapi mas Erik langsung lari, meninggalkan mas Damar yang baru sadar yang di katakan mas Erik benar sekali. si mbah yang sedari tadi tersaruk-saruk, mengejar mereka.
Di tengah kepanikan itulah, aroma Sembujo yang misterius itu tercium lagi, lebih kuat dan mereka berdua bisa menciumnya, sangat jelas sekali, “Jembot!! onok opo seh ambek alas iki” (ada apa sih dengan hutan ini)
Disitulah entah karena kepepet atau apa, mereka malah mendekat, mendekat ke sumber aroma sembujo itu yang padahal mereka berdua tau bahwa itu adalah aroma dari..Wanggul. Namun, setidaknya aroma itu benar-benar membawa mereka ke jalanan yang tidak asing lagi. Mas Damar yang mengikuti mas Erik dari belakang, hanya mendengar, sekelibet suara, suara meraung, keras sekali seperti suara macan. Tanpa memperdulikan apapun dan bagaimanapun, tiba-tiba mereka sudah sampai di tempat yang mereka cari selama ini.
Pos ke dua, disana mereka bisa melihat pagar besi, tempat dimana cagar satwa beroperasi, dengan keringat dingin Mereka mendekat, ada sumber cahaya di dalam, di gedorlah pintu dan keluar pemuda setengah baya, memandang mereka dengan tatapan curiga.
“Sampeyan-sampeyan yang ninggalin KTP di pos 1 yo” (kalian yang ninggalin KTP di pos 1)
Mereka pun mengangguk. Saat itu juga, si petugas melapor. Tidak ada yang tau satupun dari mereka bila bukan karena si petugas yang mengatakan sudah 2 hari sejak pencarian mereka dimulai.
“Goblok. nek kate nggok Purwokerto lapo lewat kene? lewat Mojokerto lak isok seh” (Bodoh!! kalau mau naik ke Purwakarta kenapa lewat sini, kan bisa lewat Mojokerto)
Sudah 2 jam mereka di ceramahi oleh pemuda paruh baya itu, wajahnya tampak sangar seperti sudah lama menahan luapan amarah, mas Erik dan mas Damar hanya diam mengangguk. pasrah. bingung, tidak tau harus mengatakan apa.
Setelah beberapa saat, barulah terdengar suara motor mendekat, dan yang masuk kemudian adalah seorang pria, yang mungkin 10 tahun lebih tua, dirinya hanya mengenakan kaos kutang dengan sarung di lilitkan di tubuhnya.
Wajahnya tidak kalah sangar, dirinya menatap mas Erik dan mas Damar. Kalimat pertama yang dirinya ucapkan bukan luapan amarah seperti penjaga di pos 2, tapi hanya pertanyaan yang membuat mas Damar dan mas Erik diam lama.
“Isih urip to awak awak iki?” (masih hidup ya kalian-kalian ini)
dirinya meneguk kopi di meja, kemudian duduk bersila di depan mereka.
“Wes ceritakno kabeh, nang ndi ae awak awak iki 2 dino iki?” (sudah ceritakan saja, kemana kalian selama 2 hari ini)
“Pak.” kata mas Damar, “Onok Deso yo pak nggok kene” (ada desa ya pak disini)
Terlihat 2 penjaga itu saling melihat satu sama lain.
“Onok” kata si bapak. (ada)
Si bapak terdiam lama, sementara penjaga yang lebih muda tampak bingung, sembari berbisik ia bertanya.
“nang ndi onok deso pak, nek Vila akeh nang kene?!” (dimana ada desa pak, kalau disini Vila banyak pak) kata si penjaga yang lebih muda.”
Sembari menghisap rokok, wajah si bapak tampak tegang. “Opo bener, awak-awak mek wong loro sing munggah liwat kene?” (apa benar kalian cuma berdua saja waktu mendaki disini?)
Mas Erik dan mas Damar mengangguk bersamaan.
“Syukur” kata si bapak. “alas Tr**** iki, pancen angker”
“Biyen, wes terkenal akeh sing tau eroh bahwa nang alas iki, onok enggon sing di arani jeneng’e Petuk Sewu, wit sing keramat, sing kabare onok Deso nang jero’ne kunu, jenenge deso iku. Deso Gondo Mayit”
(Dulu, sudah terkenal bahwa banyak yang pernah lihat kalau ada tempat yang-
Namanya, Seribu Pintu, pohon keramat, yang kabarnya bila di lihat ada desa di dalamnya, desa ini namanya adalah desa Gondo Mayit)
Hembusan asap rokoknya, membuat semua orang yang ada di ruangan terdiam mendengarkan, wajah mereka semua tegang.
“Masalahe, ra onok sing eroh nang ndi wet iki” (masalahnya tidak ada yang tau dimana keberadaan pohon ini)
“Untung’e awak-awak gak keblobok nang deso iki ambi nggowo awak ganjil, sampe iku kedaden, biasane, siji ra isok muleh” (untungnya, kalian tidak terjebak di desa ini, dengan membawa jumblah orang ganjil, kalau sampe itu terjadi, biasanya hanya satu yang tidak akan bisa pulang)
Mas Erik dan mas Damar saling memandang satu sama lain.
“Sak iki aku takon, opo sing mbok rasak’ne sak iki?” (sekarang aku tanya, apa yang kalian rasakan sekarang?)
Disini mas Damar awalnya bingung, apakah dirinya harus bercerita soal kondisi tubuhnya, dan akhirnya dengan bantuan mas Erik, mas Damar menunjukkan area dimana dirinya mendapat musibah.
Si bapak hanya diam, tampak tidak terkejut sama sekali, seperti pernah melihat ini sebelumnya.
Si Bapak menginstruksikan agar mas Damar tidur terlentang, sementara jari-jari kakinya di tarik satu persatu, kurang lebih hampir setengah jam si bapak memijit kaki mas Damar, ajaibnya, Testisnya yang membesar perlahan kembali normal.
“Mene ojok nguyuh sembarangan nggih”
(Besok-besok jangan kencing sembarangan lagi ya)
Setelah percakapan itu, mas Damar dan juga mas Erik berpamitan pulang, saat fajar mulai menyingsing. mas Damar yang pertama pergi, ketika mas Erik akan beranjak, dirinya kembali menemui si bapak, bertanya dengan wajah penasaran.
“Pak, kulo tandet, neng Deso niku, enten si mbah wadon, sing sempet ngejar kulo bade rencang kulo, niku sinten nggih” (pak saya mau tanya sekali lagi, ada wanita tua yang sempat mengejar saya dan teman saya, itu siapa ya)
Wajah si bapak tampak berpikir, kmudian berucap. “Sartih”
“Sartih” kata mas Erik mengulangi.
“Sampeyan tau, kalau pocong itu sebenarnya bisa di ikat sama ilmu hitam, nah Sartih itu hanya sebuah gelar, Pocong bisa di kirim untuk mencelakai siapapun, bisa di gunakan untuk menganggu bisnis orang, nah, Desa tersebut, di miliki oleh si mbah ini”
“Si Mbah niki menungso toh pak?” (si mbah ini manusia dong pak)
Si bapak hanya diam sembari menggeleng, dirinya tidak bisa melanjutkan ini lebih jauh. Sekarang, dari informasi ini, mas Erik mengambil kesimpulan, cara mengikat pocong berarti dengan memegang tali pocongnya.
Sekarang yang menjadi pertanyaan adalah, berapa banyak pocong yang sudah di ikat, dan kenapa eksistensi Desa ini masih sering muncul.
Sebenarnya, cerita tentang pesugihan pocong bukanlah hal yang baru, banyak cerita tentang pesugihan pocong, mulai dari sebagai pelaris makanan, hingga pembawa balak atau musibah bagi keluarga yang tidak di suka, apapun itu, mungkin ujung dari cerita ini berhubungan satu sama lain dengan desa ini. yang menjadi poin penting disini adalah, jauh di luar akal sehat ini, memang hal-hal ghaib kerab kali menyembunyikan misterinya sendiri.
malam itu. setelah selesai mendengar cerita tersebut, satu yang saya pelajari, pengalaman yang menimpa mereka bener-bener buat saya harus senantiasa waspada dimanapun kita berada, ibarat pepatah. “Dimana bumi di pijak. disitu langit di junjung”
akhir kata, saya mau pamit dan senang sekali bisa berbagi cerita Deso Gondo Mayit dengan kalian. mohon maaf bila ada salah-salah kata dan pengetikan, atau jam ngaret yang kadang saya lakuin karena kesibukan.
Sumber: Threader