Cerita Misteri Desa Gondo Mayit Bagian 2, Dijamin Bikin Tegang
“Onok opo Rik?” (ada apa Rik?)”Gak onok” (gak ada)
Damar tahu, Erik sedang berbohong. Barulah, ketika sampai di tanah lapang, yang artinya pos kedua atau tempat yang biasa di gunakan sebagai penakaran satwa sudah mulai dekat, Erik baru membuka suara.
“Onok kuntilanak Dam”Kaget, namun Damar tidak mencoba menanggapi, ia hanya melihat Erik lebih pucat. Seteguk air dalam botol setidaknya mampu menenangkan hati Erik, setelah di rasa cukup dan Erik menjadi lebih tenang, seusai cerita bagaimana dirinya melihat makhluk tersebut.
“Yo opo Mar, isok lanjut ora?” (gimana Mar, bisa lanjut apa tidak?)
Mas Damar memanggil Erik, memintanya mendekat sembari menceritakan keluhanya, dan ketika dia menunjukkan kondisinya saat itu, mas Erik hanya bisa melotot gak percaya atas apa yang dia lihat.
“Jancok, kenek opo koen?” (sialan, kenapa dengan kamu ini?) tanya mas Erik, matanya fokus melihat sesuatu yang ganjil tersebut.
Mas Damar hanya diam, wajahnya sudah pucat, jangankan menjawab pertanyaan Erik, kapan dan bagaimana ini terjadi saja, mas Damar saja tidak tahu.”Gak eroh Rik” (gak tau Rik)
Melihat kondisi mas Damar seperti itu, mas Erik akhirnya menyuruh mas Damar bersandar di pohon, pikiranya fokus ke rombongan yang tadi lewat, jin atau bukan, mas Erik harus memanggil mereka, agar mas Damar dapat segera tertolong.
Tidak hanya itu, hal seperti ini baru pertama kali mas Erik hadapi, bagaimana bisa terjadi hal-hal seperti ini, padahal mereka tidak lupa berdoa agar di lancarkan semuanya, tapi, kok bisa testisnya si Damar membesar seperti itu, besarnya sendiri nyaris sama seperti kepalan tangan yang menggenggam.
Tidak hanya itu, ekspresi wajah dari iring-iringan itu, tidak satupun menunjukkan wajah sedih atau bersimpati, sebaliknya, wajah-wajah itu, sumringah seperti sedang mengadakan pesta.
Lalu, keranda mayit yang di pinggul pun asing, biasanya di tutup dengan kain hijau tua, namun yang mas Erik dan Damar lihat, keranda mayit itu di tutup dengan kain hitam lengkap dengan bunga melati terajut sebagai pengiringnya.
saat itulah baru di ketahui nenek itu adalah warga lokal, dirinya tinggal di desa tidak jauh dari tempat mereka berada, nenek itu menawarkan tempat persinggahan, sekaligus memberitahu bila apa yang terjadi pada mas Damar adalah akibat dari “Weltuk”
“Nopo niku?” (apa itu?) tanya Erik disitulah si nenek yang mengaku bisa menyembuhkan mas Damar bercerita, Weltuk itu adalah Demit (lelembut) penunggu sungai yang marah sama mas Damar karena tanpa sengaja, mas Damar sudah mengencinginya.
Kaget. mas Erik kemudian bertanya dengan muka ngeri. “Wanggul apa mbah?”Si nenek berhenti, melihat jauh ke belakang, disana dirinya menunjuk.
Mas Erik pun mengatakanya. “sembujo”
Si Nenek mengangguk. “ra popo nek sembujo, gorong ambu batang yo kan, nek iku baru bahaya” (tidak apa-apa kalau wangi sembujo, kalau bau bangkai, nah itu baru berbahaya)
“Trus yok opo mbah, sampe kapan kulo bakal di tut’i” (lalu bagaimana mbah, sampai kapan saya akan di ikuti)
“Bar engkok ngaleh dewe” (biarkan saja, nanti juga pergi sendiri) jelas si mbah.
Benar rupanya, di depan, terlihat sebuah desa, namun, desanya ini, tidak terlalu besar rumah-rumahnya terbuat dari anyaman bambu, pokoknya, sangat jauh berbeda dengan kondisi rumah jaman sekarang yang di bangun dengan bata dan jiuga semen.
“Turokno kunu sek kancamu” (tidurkan dulu temanmu disitu)
Si mbah masuk ke ruangan dalam, sedangkan mas Erik dan Damar di tinggal di teras rumah, ada bangku besar untuk merebahkan badan mas Damar, mas Erik masih gak habis pikir, hanya karena kencing bisa jadi seperti ini.
Selidik demi selidik, mas Erik melihat kesana-kemari, tatapanya menyapu dari rumah ujung ke ujung, hanya ada 13 atau kurang rumah disini, dan sebelumnya dirinya tidak pernah dengar di daerah ini ada sebuah desa.
Namun, tengah malam seperti ini, desa ini sunyi dan sepi, cukup membuat ngeri si mbah keluar, di tanganya, ada kendi, “Ngumbi iki, trus pas ngumbi ngadep kidul ben penyakite minggat nang kidul yo le” (minum ini lalu pas minum nanti menghadap ke arah selatan, biar penyakitnya pergi ke selatan ya nak)
“Sak iki mlebu ae nang omah, ojok metu sek, ben balasado’ ne ngalih disek,” (sekarang masuk rumah, jangan keluar dulu, biar bencananya bisa pergi)
Mas Erik tidak paham maksud si mbah saat mengatakan balasado, namun mas Erik mengiyakan tawaran tersebut, kali ini mereka yakin, mbah yang menolong mereka mungkin memang manusia asli.
kalimat yang di dengar mas Erik hanya. “wayahe. sedo, Bolo, Randak” (giliran. Mati, Saudara, Ilmu)
Habis itu, pintu di tutup, si mbah kembali masuk dan mengambil kain, lalu menutup kepalanya dengan kain itu, disana, mas Erik pun bertanya.
“Bade pundi mbah?” (mau kemana mbah?)
Saat itulah si mbah menawarkan mas Erik apakah mau ikut atau tidak. Tawaran itu awalnya membuat ragu mas Erik, karena dirinya harus menjaga mas Damar, tapi ada keinginan besar yang membuat penasaran, terutama bila melihat wajah anak pucat tersebut.
Seperti ada sesuatu yang ganjil, mas Erik pun ikut, setelah lama menimbang-nimbang keputusan. Rupanya, mas Erik di bawa di sebuah rumah, di depanya banyak orang yang sudah menunggu.
rupanya, yang akan di makamkan malam ini adalah, bocah yang tadi berdiri di depan pintu si mbah.
“Jancok lah” batin mas Erik, seolah gak percaya apa yang dirinya lihat, semakin di lihat, wajahnya semakin sama persis dengan apa yang mas Erik saksikan.
Tidak mungkin ia salah lihat. Sata yang dengar mas Erik cerita menatap bingung. “maksude yo opo mas, cah sing di kubur iku podo mbek cah sing nggedor lawang mbah iku?” (maksudnya gimana mas, anak yang di kubur itu sama persis sama anak yang gedor pintu itu kah?)
“Ra mungkin” (gak mungkin) kata saya mencoba berkilah, namun sanggahan saya hanya di jawab dengan wajah murung mas Erik, gak cuma itu, mas Damar yang terkenal realistis pun hanya diam, matanya tertuju pada segelas kopi yang mulai dingin.
Malam melanjutkan ceritanya. Mau tidak mau, mas Erik menyaksikan prosesi pemakaman itu, di tengah pemakaman, mas Erik melihat gelagat yang sangat aneh, dimana, semua orang tampak sedang menari-nari, beberapa bernyanyi dengan nada gamelan mengalun-alun, yang lebih membuat mas Erik tidak bisa mengerti, adalah si bocah, di kubur dengan mata yang masih terbuka lebar.
Saya gak bisa bedain antara mau ketawa atau menahan ngeri mendengar cerita mas Erik.
“Piye maksude mas, cah iku wes mati opo durung asline” (gimana sih maksudnya, itu anak sudah mati apa belum sebenarnya?)
Mas Erik masih diam lama, kemudian mas Damar memotong cerita mas Erik.
PASARAN |
KLIK |
|
PASARAN SYDNEY |
30 39 39 37 20 29 27 70 72 79 |
|
PASARAN COLOMBO |
52 57 54 51 42 47 41 51 57 52 |
|
PASARAN SCOTLAND |
01 03 09 08 31 39 38 81 83 89 |
|
PASARAN SINGAPORE |
37 31 30 38 07 01 08 87 81 80 |
|
PASARAN JAMAICA |
30 38 36 35 60 68 65 50 58 56 |
|
PASARAN UGANDA |
63 64 67 61 43 47 41 13 17 14 |
|
PASARAN HONGKONG |
84 87 83 81 34 37 31 14 17 13 |
|
PASARAN KENYA |
13 14 19 18 93 94 98 83 84 89 |
|
PASARAN SLOVAKIA |
10 12 14 17 40 42 47 70 72 74 |
Hening, sepi, sunyi, setidaknya itulah yang di rasakan mas Damar, dirinya terbangun meski mata masih terkantuk-kantuk. Di lihatlah kesana-kemari, ia baru ingat, ia baru saja terlelap di atas ranjang rumah seseorang.
Seorang wanita tua yang menawarkan rumahnya. Di carinya mas Erik namun tidak di temukan kawan seperjalananya ini.
Mas Damar pun kembali masuk ke rumah yang lebih terlihat seperti gubuk itu. sampai, dirinya merasa penasaran dengan ruangan dalam milik si wanita tua tersebut.Dengan perlahan, mas Damar mendekat, di dalam rumah, mas Damar mencium bebauan yang familiar, rupanya itu adalah bau dari daun sirih yang di gunakan wanita tua itu. bagaimana mas Damar tau bebauan itu, karena rupanya, mas Damar sudah sering menciumnya di rumah mbah buyutnya yang juga menggunakan itu tuk pembersih gigi tangan mas Damar cekatan memeriksa rumah itu. Meski tidak sopan, rasa penasaran mas Damar begitu besar, matanya sibuk mengawasi ini itu, sampai, pandanganya menangkap sebuah kotak dengan ukiran majapala, sebuah ukiran khas jawa, mas Damar pun, mendekat.
begitu kotak di buka, mas Damar menatap heran, karena yang dirinya lihat hanya tumpukan pakaian bernuansa warna putih, tertumpuk berantakan begitu saja, maka mas Damar bersiap menutupnya lagi, namun, tiba-tiba dia curiga dengan pakaian itu.
Di ambilah satu helai pakaian, dan ketika pakaian itu terangkat di tanganya, ia memeriksa dengan seksama, sampai ia yakin dan menatap ngeri pakaian itu. Rupanya itu adalah kain kafan yang sudah di ikat sedemikian rupa, membentuk sampul untuk mebungkus mayat.
Lirih, namun membuat bulukuduk berdiri, si pocong mengatakanya. “tali pocong” “tali pocong”Mas Damar masih mematung, ketakutan benar-benar mengeraskan syarafnya, hingga, suara pintu terbanting membuat mas Damar tercekat panik di lihatnya si mbah sudah kembali dengan wajah marah dan memaki, entah apa yang terjadi, dirinya melihat si mbah mencengkram ujung kain kafan si pocong, menyeretnya dengan tangan kosong lalu melemparkanya tepat di kebun belakang rumah gubuk itu.
(loh, kenapa tali pocongnya belum di buka?)
Namun, tak seorangpun mendengarkan peringatan dari mas Erik, mereka tetap menutup lubang kubur dengan tanah, disinilah mas Erik merasakan firasat teramat buruk.
“Desa Edan” (desa gila)
Maka, ia segera meninggalkan tempat itu.
sampai di rumah si mbah, mas Erik melihat mas Damar, mata mereka saling menangkap satu sama lain.
Disini, mereka curiga.
Desa ini, mungkin bukan Desa manusia, namun ada hal yang lebih besar dari semua itu. Ada misteri apa yang di sembunyikan di desa ini. Di tengah kebingungan, langkah kaki si mbah mengejutkan mereka, wajahnya yang sempat mengeras ketika melihat mas Damar kini sudah berubah seperti sedia kala, seperti saat pertama kali mereka bertemu dengan si mbah.
Suaranya riuh, namun sangat tipis, seperti dari tempat yang jauh.Itu adalah suara pitik (ayam) yang pernah terdengar. Mas Erik lah yang pertama bangun, ia melihat kesana kemari untuk memastikan sesuatu sampai, mas Erik akhirnya menggoyangkan badan mas Damar, dirinya baru sadar, wajah mas Damar terlihat sangat pucat, seperti menyembunyikan sesuatu.
Kalimat itu mengingatkan mas Erik dengan peristiwa yang baru saja dirinya alami, matanya menatap tajam mas Damar, ia tidak tau harus menceritakanya darimana.
“Aku tau krungu, jare’ne, suara pitik, iku nunjuk’ke nek onok pocong gok sekitar kene” (aku pernah dengar, katanya, kalau dengar suara ayam, artinya ada pocong di dekat sini)
“Mar” akhirnya mas Erik menceritakan kejadian yang menimpanya. “Deso iki gak beres, ayok minggat ae, ndok mu wes gak popo toh” (Mar, desa ini gak beres, ayo pergi saja, testismu sudah gak papa kan)
Mendengar itu, mas Damar kemudian juga mengatakanya.
“Rik. koyok’e si mbah iki”
(Rik sepertinya si mbah) belum selesai melanjutkan kalimat itu, tetiba mata mas Damar menatap ke jendela kamar yang hanya tertutup gorden, disana, ia melihat wajah mengintip.
“Rik. minggat ae tekan kene” (Rik ayo kita pergi saja dari sini)
“Opo to, onok opo?” (ada apa?)