Bikin Merinding Misteri Aksara Kolojiwo, Dijamin Bikin Tegang
Cerita Misteri Aksara Kolojiwo. Hujan, sebuah mobil pickup modifikasi tahun 90’an baru saja melintas. Sepanjang jalan, sopir tak henti-hentinya memandang jalanan berkelok, kiri kanan hanya terlihat pohon tinggi besar dengan kegelapan yang menyelimutinya, semua berjalan sangat lancar sampai terdengar suara gadis menangis.
Si sopir menghentikan mobil. Memandang kernet yang tengah asik tidur di sampingnya, “Jo, koen iku ojok turu ae, rungokno” (Jo, kamu itu jangan tidur aja, dengerin tuh)
“Apa toh cak, ra seneng ndelok aku turu tah” (ada apa sih mas, gak suka lihat saya tidur tah)
Sopir dan kernet saling memandang sengit, sebelum, rintik suara hujan yang mulai turun tak mengurangi suara syahdu yang membuat dua lelaki itu saling memandang
“Onok sing nangis cak?” (ada yang nangis mas?)
“Lah tadi aku wes ngomong, perikso” (kan aku udah bilang, cepat periksa)
Kernet melangkah turun, berbekal senter besar di tangan, dirinya menuju bak tertutup di belakang pickup, hujan masih turun deras sementara di samping kiri kanan tak di temui seorang manusia satu pun, kendaraan pun tampak sepi, meski di selimuti ngeri namun kernet tetap harus memeriksa.
Dengan cekatan dirinya membuka gembok, namun sekejap dirinya merasakan perasaan merinding berdiri di tempat ini, “asu!! mene nek aku dadi sopir, kernetku bakal tak sikso koyok ngene” (Anj*ng!! besok kalau aku udah jadi sopir, kernetku juga akan aku siksa kaya gini) gerutunya,
Suara tangisan tersebut memang berasal dari bak belakang pickup, tempat si kernet sedang membukanya, tiba-tiba “Piye, sopo sing nangis?” (gimana, siapa yang nangis?)
“Jancok! sek ta lah, iki tak perikso” (Sialan, bentar, ini lagi ku periksa) teriaknya melihat si sopir tiba-tiba muncul,
Pintu bak terbuka, si kernet mengarahkan senter ke dalam, di lihatnya pemandangan itu, mencari-cari sampai berhenti di satu titik, si sopir dan si kernet saling memandang, melihat seorang gadis kecil menangis di antara gadis-gadis kecil lain yang tengah terlelap dalam obat tidurnya
“Halo” kata si kernet, “sini.. kenapa nangis, takut ya, sama om aja ya”
Si gadis menatap dua lelaki di luar mobil bak, dirinya masih diam memandang bingung, “Namanya siapa, nanti om kasih permen”
“Mayang” ucapnya polos, si kernet tak menyerah, “mayang kalau takut sini..” bujuknya,
“Kesuwen jo” (kelamaan jo) kata si sopir tak sabar, dirinya melangkah masuk sebelum mengambil sapu tangan di saku, menekan hidung si gadis, tangannya mengelepar berusaha melawan namun perbedaan kekuatan membuat si gadis tak berdaya, ia akhirnya terjatuh, terlelap dalam mimpi buruknya lagi.
Si sopir melangkah keluar sembari menatap tajam rekannya, “Goblok, mene nek kerjo sing bener!!”(bodoh!! besok kalau kerja yg bener!!)
“Lah bos, aku wes nuruti lambemu, wes tak” (Lah bos, saya sudah nuruti mulutmu sudah tak) belum selesai bicara, si sopir berteriak
“Taek!! masuk”
Si sopir dan kernet masuk kembali ke dalam mobil setelah menutup bak belakang, mobil kembali melaju tenang, tanpa mereka sadari, di antara anak-anak itu ada satu yang masih terjaga, dirinya tahu apa yang terjadi bila dirinya menunjukkan dirinya dalam kondisi terjaga kemana mereka di bawa. Cerita Misteri Aksara Kolojiwo
Mobil berhenti di sebuah jalan setapak, sudah berkali-kali mereka bertemu dengannya namun tempat pertemuan selalu berubah-ubah, si kernet menatap si sopir, “cak, wes iki terakhir ae, ojok urusan ambek menungso model ngunu, sampeyan gak eroh arek iki bakal di apakno kan”
(mas, sudahi saja, jangan berurusan sama manusia kaya gini lagi, kamu gak tau kan mau di apakan anak-anak ini)
“Menengo, aku gak ngurus soal iku, sing penting duwike akeh” (diam saja, aku gak peduli soal itu, yang penting duitnya banyak)
Tak beberapa lama, terlihat seseorang muncul dirinya mendekati mereka dengan kereta kuda, di atasnya ada seorang lelaki tua yang mengenakan penutup kepala, dia yang sudah di tunggu oleh mereka,
“Wes, siapno arek-arek iku, tangane juragan wes teko”
(sudah siapkan anak-anak, tangan kanan bos sudah datang)
Lelaki tua itu turun, memandang si sopir tajam sebelum pandangannya beralih pada mobil tua itu, “rongsokan ngene buaken ae” (benda rongsokan gini, buang saja!!) katanya, si sopir hanya mengangguk, sembari menyesap rokok, “Aman kirimane” (kirimannya aman) si sopir mengangguk lagi, tiba-tiba entah ada apa, di tengah hujan turun, si lelaki tua itu seperti mencium sesuatu sebelum memandang tajam si sopir, “aku gak butuh cah lanang goblok!!” (aku tidak butuh anak lelaki bodoh!!)
Si sopir tampak bingung, “maksude piye to mbah?” (maksudnya bagaimana mbah)
Saat itulah mereka menuju tempat si kernet berada, di sana, lelaki tua itu masuk sebelum menarik rambut panjang salah satu anak yang tengah pura-pura tidur, anak lelaki itu merintih kesakitan, “iki opo gak arek lanang?” (apa ini bukan anak lelaki?)
Kedua orang itu bingung,
“Sak iki berarti sing mok gowo mek enem” (ini berarti yg kalian bawa cuma enam)
Dua orang itu saling berbisik, “iku yo opo ceritane arek lanang kok isok mok gowo” (itu gimana ceritanya kok bisa bisanya anak lelaki yg kau bawa)
“Rambute dowo e bos, tak pikir yo wedok”
(Rambutnya panjang bos, ya aku kira perempuan)
Si sopir tampak geram sembari memasang wajah sengit, “teros gak mok perikso nduwe perkutut ta gak?” (terus gak kamu periksa lebih dulu, dia punya perkutut atau tidak?)
si kernet tampak bingung, “ora bos, waktune mepet soale”
“Ngeten mawon mbah” ucap si sopir, “peyan bayar piro ae, kulo purun” (anda bayar berapa saja, saya terima)
Si mbah menatap tajam sebelum tersenyum licik, “teros, cah lanang iki gawe opo?” (lalu, si anak lelaki ini buat apa?)
Si sopir terdiam sebelum mengambil parang di mobil
Si sopir mendekati anak lelaki itu, menjambak rambutnya sebelum menghunus parang tepat di tenggorokan, si kernet membuang muka, dirinya tak tega melihat pemandangan itu sementara si lelaki tua mengamatinya tampak seperti menikmatinya.
Hujan turun semakin deras,
“Hop” (berhenti) ucap si lelaki tua, “Wes tak ramute cah iki, mene bakal dadi ajengku” (sudah biar aku rawat anak ini biar jadi penerusku)
Si sopir mengurungkan niatnya menatap si lelaki tua,
“Gowoen kabeh cah iku nang keretoku, wulan ngarep kudu jangkep, aku moh koyok ngene”
(Bawa semua anak itu ke keretaku, bulan depan harus lengkap tujuh, aku tidak mau seperti ini lagi)
Si sopir mengangguk takut, mereka segera mengangkat satu persatu anak perempuan, sementara anak lelaki itu tertunduk lemas, gemetar, si lelaki mendekati, “Siapa namamu?”
“Agus”
Kereta kuda mulai berjalan di atas tanah berlumpur meningalkan dua lelaki yang hanya diam tak berkomentar, mereka menatap anak lelaki yang kini bersanding di samping lelaki tua itu,
“Sak iki, tak kenalno kowe ambek tuan Codro”
(Sekarang akan ku kenalkan kamu dengan tuan Codro)
Kereta kuda berhenti, si lelaki tua turun sebelum menggandeng Agus kecil tak beberapa lama, orang-orang lain yang mengenakan pakaian putih mendekat mengangkat satu per satu gadis kecil dari kereta kuda, agus kecil hanya bisa mengamatinya tanpa tahu kemana anak-anak itu akan di bawa
“Wes bengi, turu yo le, mene baru tak duduhi cara urip nang omah iki” (sudah malam nak, tidur ya, besok saya ajarin cara hidup di rumah ini)
Pintu tertutup, si lelaki tua itu pergi, sementara Agus menatap seorang wanita berambut panjang tengah mengamatinya dari langit- rumah, pagi sudah datang, si lelaki tua mendatanginya kembali, Agus menceritakan semuanya, namun si lelaki tua itu tertawa, “iku jenenge jagrang, gak popo, mek ngetok tok ora bakal mangan awakmu” (itu namanya jagrang, gak papa, hanya menampakkan diri, gak akan memakanmu)
Lelaki tua itu memperkenalkan dirinya, “Jenengku mbah Ratno, celuk ae mbah kakung, aku iki mek abdi daleme tuan Codro, kerjoku mek ngurus jaran” (namaku mbah Ratno, panggil aja mbah kakung, aku hanya abdi dalam tuan Codro, kerjaku cuma ngurus kuda)
Mbah Ratno tertawa, bercerita banyak hal kepada Agus kecil, tentang rumah ini, tentang siapa saja abdi dalam lain, hingga sampai ke titik terakhir yang membuat Agus kecil penasaran, “nek bengi, ojok metu teko kamar yo le, soale.. onok Rinjani”
(kalau malam, jangan keluar kamar ya nak, karena ada Rinjani)
Agus kecil yang masih sulit untuk bicara tak berani bertanya, wajah mbah Ratno tampak ngeri saat mengatakannya, tiba-tiba terdengar suara tawa anak perempuan, Agus keluar dari kamar, di lihatnya anak-anak itu bermain
Agus ikut berbaur, berlarian kecil bersama anak-anak perempuan lain, namun Agus kecil merasa janggal pasalnya ketika dirinya dan anak lain bermain semua lelaki dewasa yang mengenakan pakaian putih dengan penutup kepala, mengawasi mereka meskipun tersenyum namun Agus tetap merasa aneh, namun Agus perlahan melupakan perasaannya yang janggal ketika melihat seorang perempuan yang ia kenal, Agus mendekatinya,
“la wes tak omongi ojok nangis” (kan sudah ku bilang, jangan nangis) kata Agus, perempuan itu menoleh dirinya berdiri menatap Agus, “Agus” katanya lirih,
Mayang dan Agus bermain hampir seharian, semua berakhir ketika lelaki-lelaki yang menjaga mereka mengatakan hari hampir gelap, Agus di jemput oleh mbah Ratno, tak ada yang aneh di rumah ini sampai-sampai Agus sendiri lupa bila dia punya rumah sendiri, tapi, ketika malam, rumah ini.
Seperti menyimpan kengeriannya sendiri, seperti ada sesuatu yang hidup di kegelapan dan baru keluar ketika malam datang,
Agus meringkuk di dalam selimut, dirinya mendengar suara wanita tertawa cekikikan dari luar ruangan, terkadang mereka ikut masuk, melotot menatap Agus sendirian
Tak hanya satu, namun banyak sekali makhluk seperti itu di sini, mereka melayang, kadang hanya mengintip dari celah almari, dari langit-langit, dan semakin Agus takut, mereka semakin senang, namun, suatu ketika, Agus pernah melihat mereka ketakutan saat suara itu datang,
Suara itu parau, nyaris seperti suara yang tengah sekarat, bila di dengarkan dengan telinga, membuat Agus begidik ngeri namun tak hanya dirinya, semua jagrang lenyap, pergi, sejujurnya Agus pernah hampir keluar dari kamar, sebelum dirinya merasa suara itu begitu dekat, mendekatinya.
Agus mengurungkan niat, dirinya meringkuk di bawah meja, mamandang pintu, dan sosok itu melewati kamarnya, bayangannya begitu hitam, dirinya berjalan seperti seseorang yang pincang, namun satu yang tidak akan pernah Agus lupakan, bayangan itu begitu panjang, seperti tak habis-habis.
Pagi kembali, Agus bermain dengan yang lain lagi, namun aneh, setiap hari terkadang satu persatu perempuan yang datang berkurang, namun anehnya tak ada satupun dari mereka yang merasa kehilangan temannya, kecuali Mayang, dirinya lebih sering murung sendirian.
Hari itu datang, Mayang tak lagi terlihat di antara yang lain, Agus menemui mbah Ratno di kandang kuda, namun lelaki tua itu seperti tak perduli, “Ra usah di reken, gedekno ae manokmu ben siap tak uruki” (gak usah di perdulikan, besarkan aja kemaluanmu biar bisa segera tak ajarin).
Namun Agus tak menyerah, malam itu juga dirinya berniat mencari Mayang, mbah Ratno pernah bilang jangan pernah keluar dari kamar karena tak seorangpun berani untuk keluar, itu artinya Agus bisa leluasa mencari di mana Mayang berada, dirinya mendekati pintu saat suara tertawa itu muncul,
Agus melihat sosok Jagrang di depan matanya, kulitnya putih pucat dengan rambut sepinggang, dirinya menggeleng seakan memberitahu agar Agus tidak pergi, namun Agus menolak, dirinya ingin tahu rumah apa ini dan di mana Mayang dan perempuan perempuan lain, Agus keluar, hening.
Setiap Agus melangkah terdengar lantai kayu berderit, Agus tersadar sesuatu, bagaimana sosok itu bisa berjalan tanpa bersuara sepertinya, Agus menyusuri lorong, namun dirinya tak menemukan apapun selain kegelapan di mana-mana, tak ada satupun lampu petromaks di nyalakan.
Tiba-tiba, sekelibat seorang perempuan berlari menatap Agus dari jauh, dirinya tersenyum kepadanya memanggil-manggil, Agus pernah melihatnya, dia salah satu perempuan yang hilang, namun saat Agus mendekat, perempuan kecil itu lari lenyap di balik tembok kayu, Agus terdiam.
Hal itu terjadi terus menerus, mereka muncul dan menghilang kemudian tertawa terbahak-bahak menertawakan Agus, sampai akhirnya, Agus melihat anak itu menunjuk sebuah pintu, dirinya mengangguk sembari tersenyum, sebelum pergi lagi, Agus mendekati pintu itu, ia mencium aroma bangkai.
Agus membuka pintu, di baliknya ada anak tangga, meski ragu namun Agus sudah bertekad untuk mencari di mana keberadaan Mayang, ia menuruni anak tangga, di bawah Agus melihat banyak sekali rumput pakan kuda, Agus tak mengerti tempat macam apa ini, hingga ia melihat pintu lain.
Terdengar suara berkisik di balik pintu, membuat Agus semakin penasaran, dirinya mengamati tempat itu sebelum menemukan lubang di tembok, Agus mengintip dari lubang tersebut, di dalamnya ada seorang wanita tengah duduk di kursi di belakangnya ada seseorang yang tengah menyisir rambutnya.
Hal yang membuat Agus tersentak kaget adalah saat Agus tau ruangan itu di penuhi gumpalan rambut yang begitu banyak, Agus tercekat mundur, dirinya mencoba mencerna apa yang baru saja dia lihat sebelum kembali mengintip saat di depannya wanita itu ikut mengintip dirinya,
Agus sontak berlari dari tempat itu namun pintu terkunci secara tiba-tiba dan dari belakang sosok itu mulai mendekat, Agus berteriak-teriak meminta siapapun membukakan pintu, namun tiba-tiba, sosok itu melotot dengan mulut mengangah terus menerus mengeluarkan darah berwarba hitam kental,
Dirinya menunjuk Agus, sembari berteriak parau, “Sopo koen le?” (siapa kamu nak?)
Entah apa yang terjadi, Agus mulai menangis dan dari bola matanya darah merembas keluar di ikuti hidung sampai mulutnya, dirinya mendekati si wanita sebelum menunduk merengkuh kakinya yang cacat
Rasa nyeri yang Agus rasakan begitu menyiksa, untuk anak sekecil itu Agus hanya bisa meronta-ronta, seperti dirinya di kuliti dalam keadaan sadar, karena dirinya kemudian menggaruk wajahnya terus menrus tak perduli kuku jarinya mulai patah satu persatu, tiba-tiba terdengar suara yang ia kenal
“Niku rencang kulo buk” (dia teman saya ibuk)
Sosok wanita itu berhenti, sementara Agus masih berkutat di kepalanya, dirinya terus menarik kulit wajahnya menariknya hingga ada sentuhan yang dirinya kenal, dirinya terus berbisik, “kamu ngapain Gus, gila kamu! apa gak ada yang kasih tau”
Tak beberapa lama, pintu terbuka dan suara lain yang Agus kenal datang, dirinya mengangkat tubuh Agus sebelum membawanya pergi dari tempat itu, namun Agus masih mengelepar karena kulitnya masih terasa terbakar, Agus tak bisa melihat apapun,
“Koen golek pekoro, lapo cah lanang mok gowo mrene, tuwek goblok”(Kamu cari perkara, ngapain bawa anak lelaki kesini, tua bodoh!!) Agus hanya bisa mendengar perdebadan itu, mbah Retno sepertinya di marahi oleh yang lain, Agus masih terus menahan sakit, dirinya tak tau apa yang terjadi.
Hingga terdengar suara pintu di buka, dan kedatangannya mendatangkan keheningan, tak ada suara lain, Agus melihat bayangan seorang lelaki, aromanya begitu harum yang sejenak membuatnya tak merasakan sakit, mbah Retno lalu bicara, “Tuan Codro” katanya dengan suara yang halus,
“Onok opo toh iki?” (ada apa ini?)
Agus masih meraba, matanya tak begitu jelas menangkap sosok yang ada di depannya, terdengar suara berbisik-bisik yang di jawab dengan “Wes, petnono ae, ra isok urip cah iki, timbang kesikso, ndase isok pendem nang nisor wit ngarep”
“Sudah matikan saja anak ini, dia gak akan bisa hidup, daripada kesiksa, kepalanya kan bisa di pendam di bawah pohon depan”
Agus terkesiap saat mendengarnya, karena kemudian beberapa orang melangkah mendekatinya.
Tiba-tiba seseorang masuk, “ojok di pateni, cah iku isok urip gawe getihku, dee gak salah mergo gak sengojo ngambu ilmuku” (Jangan di bunuh, anak itu masih bisa hidup pakai darahku, dia gak salah karena gak sengaja mencium aroma ilmuku)S
Si lelaki menjawab, “Getihmu ra isok”
“Darahmu gak bisa. dia tetap mati, kecuali dia bisa belajar Aksara kolojiwo dan belum tentu anak ini kuat nanggung akibatnya, lagipula, mati ya mati saja, opo bedone”
“CODRO!! KOEN NGERTI SOPO AKU??”
Agus tercekat, suara itu begitu mengguncang, Agus seketika merasa dingin, tak beberapa lama, mbah Ratno berbisik pada Agus,
“Habis ini kamu akan minum darah yang akan jadi tanggunganmu gus, ini akibatmu kalau ndak nurut sama saya”
Mbah Ratno membantu Agus membuka mulut, dan cairan amis itu masuk ke tenggorokan Agus,
“Cah iki bakal dadi siji Rojot sing bakal melok nang dalane pituh lakon, iling-ilingen omonganku, sak iki gowoen aku adoh tekan omahmu, aku gak isok nang kene maneh”
(Anak ini kelak akan jadi Rojot yang akan ikut jadi orang yang penting, ingat pesanku, sekarang bawa aku pergi)
(Bawa aku pergi jauh dari rumahmu, aku tidak bisa di sini lagi)
Suara lelaki itu menjawab pelan, “iya Rinjani, Padusan pituh wes tak siapno kanggo kowe” (Padusan pituh sudah saya siapkan semuanya)
Si lelaki kemudian berbicara lagi, “No, basi Rinjani nguripi arek iki, aku gak isok nerimo, tapi aku isok nerimo nek cah iki isok urip tekan Benggolo sing tak gowo” (No, biarpun Rinjani sudah memberi kehidupan ke anak ini aku gak bisa terima, jadi aku akan mengujinya apakah dia masih bisa hidup setelah ku buat setengah mati dengan Benggoloku)
Agus masih belum bisa menerima apa yang masuk ke dalam mulutnya, karena setelahnya, dirinya di paksa lagi membuka mulut saat sesuatu di paksa masuk lagi ke dalam perutnya, Agus meronta-meronta.
Mira tersentak sebelum memuntahkan isi perutnya, seorang petugas stasiun mendekatinya, “Kenapa mbak? mimpi buruk lagi?”
Mira menggelengkan kepalanya, dirinya tidak tahu baru saja melihat apa, dirinya melihat seorang anak lelaki, Mira melirik buku di atas mejanya di sana tertulis sesuatu
“Aksara Kolojiwo”
Mira terdiam lama, dirinya harus tahu, apa itu Kolojiwo.
Mira masih menuggu di bangku stasiun saat dua orang lelaki dan satu perempuan mendekatinya
“Mbak Mira ya” kata si lelaki jangkung, Mira berdiri, mengangguk sebelum menyalaminya
“Oh oke, ini Guntur, ini Eka, dan saya Rasyid” kata si lelaki, Mira mengangguk mengerti,
“Saya gak tau darimana anda tau kalau kami mau naik gunung, tiba-tiba anda telephone dan mengatakan kalau mau ikut pendakian, saya kaget, tapi sudahlah, lebih enak kalau naik gunung itu memang bawa orang banyak” ucap Rasyid,
Mira hanya tersenyum, dirinya seakan di tuntun oleh sesuatu
“Jadi hanya kita saja berempat ya yang naik?” tanya Mira,
Rasyid menggeleng lalu menatap sekeliling sampai matanya tertuju pada seorang perempuan berambut panjang yang berjalan mendekati mereka,
“Ada satu lagi mbak Mira, namanya, Mayang” ucap Rasyid”. Cerita Misteri Aksara Kolojiwo
Sumber: Threader