Dijamin Kalian Bakalan Susah Tidur Setelah Baca Cerita Misteri Padusan Pituh
Cerita Misteri Padusan Pituh bagian ke 2. Sudah lebih dari 6 jam Mira duduk di gerbong, sudah puluhan orang datang dan pergi, waktu berlalu begitu cepat, membuat Mira sendiri bertanya-tanya, apa yang dirinya cari selama ini, dan perlahan semua terungkap namun matanya menangkap seorang wanita tua, dirinya duduk sembari mengawasi
sejak tadi, wanita itu tak kunjung pergi, dirinya mengenakan gaun lawas cokelat, dengan belanjaan tas sayur di samping kakinya, Mira berusaha mengabaikannya, namun aneh, Mira merasa wanita tua itu terus melihat dirinya, tak sedetikpun dirinya berpaling, ekspresinya sangat dingin merasa ada yang salah dengan si wanita, Mira berdiri, dirinya berniat untuk pergi, Mira mengangkat tas punggungnya, tapi si wanita ikut berdiri, membuat Mira semakin yakin ada yang salah dengan dirinya.
Mira melangkah pergi, sesekali dirinya melihat si wanita mulai berjalan mengikuti, di gerbong lain, Mira melihat banyak sekali orang menatapnya sangat aneh, Mira berjalan tenang berusaha membaur dengan mereka, dirinya menoleh namun tak di dapati si wanita tersebut, belum, sampai si wanita melangkah masuk mendekatinya, Mira kembali berjalan berusaha menjaga jarak,
Mira memilih berhenti, dirinya duduk di salah satu kursi paling sudut, sesekali dirinya melihat si wanita, aneh sekali, kali ini si wanita hanya berdiri diam, mematung. Mira mencoba tenang, dirinya terus meyakinkan dalam dirinya tak ada yang salah, tak ada yang salah, berulang-ulang kali, di jendela hujan deras sangat turun, langit mendung, sementara kereta mulai memasuki area persawahan, Mira merapalkan jaket, memeluk tas punggung, sembari sesekali mengawasi, si wanita yang masih berdiri tapi anehnya, tak ada satupun orang yang merasa terganggu dengan kehadirannya.
Seorang lelaki yang duduk di depan Mira juga bersikap aneh, saat mata mereka bertemu, dirinya langsung membuang muka seakan melihat sesuatu yang mengerikan, Mira menatapnya lekat-lekat tangannya gemetar hebat sembari mencengkram koran,
“Pak” tanya Mira, si lelaki tersentak kemudian pergi, kepergian lelaki tersebut membuat Mira semakin bingung, dirinya menatap ke tempat di mana wanita tersebut berdiri, ia masih di sana, namun sesuatu mulai terjadi hening, Mira tak bisa mendengar apapun, bahkan suara hujan di luar jendela pun tak bisa dirinya dengar, si wanita mengangkat tangan menunjuk saat itu juga, fenomena tersebut terjadi, semua orang yang ada di dalam kereta berdiri, menatap Mira semuanya.
Mira bersiap, dirinya mengenggam rapat tas punggungnya, si wanita melangkah mendekatinya, semakin dekat, semakin dekat, dan, “Nduk”
Mira menghantam kepala si wanita dengan tas
Mira mendudukinya terus memukul-mukul kepala si wanita, Mira begitu kalap, teriakan si wanita membuyarkan semuanya, dirinya terus meminta-minta tolong dan Mira baru sadar, di sekelilingnya orang-orang berkerumun untuk memisahkannya, yang terjadi berikutnya Mira terguncang bingung
“Ini minumnya mbak” kata seorang lelaki petugas stasiun, Mira duduk di dalam ruangan tersebut di mintai penjelasan “nyapo to, ngantemi ibuk- koyok wong kesurupan” (kenapa sih, anda memukuli ibu- kaya orang kesurupan) kata si lelaki,
“Maaf pak, saya juga tidak tau” kata Mira menunduk.
Si petugas melihat kawannya, dirinya memberikan gestur tangan “STRESS!!” Mira menoleh, si petugas tampak tidak enak hati tersenyum sebelum melihat ke tempat lain
“Saya ndak stress pak”
Si petugas setuju, karena yang seharusnya stres mungkin ibuk yang di pukuli, di siksa di dalam gerbong
“Sebenarnya kamu beruntung, dia gak nuntut, kamu boleh pergi, tapi sebelumnya, buku apa ini?”
Mira menatap buku yang di bawa, buku itu tampak begitu usang bila di perhatikan lagi.
“Itu adalah peninggalan keluarga saya pak”
Si petugas percaya dan mengembalikannya, “kamu mau kemana?”
Mira mengambil buku, dan membuka lembaran di dalamnya, menunjuk kepada si petugas, ketika si petugas melihat gambar itu, dirinya menatap Mira, melotot sebelum memanggil kawannya, wajah mereka tampak begitu sangat panik sebelum mengatakan
“Mbak boleh pergi sekarang!!” kata si petugas tiba-tiba, “monggo”
Hujan masih turun, Mira melangkah menembus jalanan, masih terasa sangat aneh, karena di setiap Mira melangkah, semua orang yang berpapasan dengannya seakan-akan melihat dirinya sangat dingin, begitu membuat Mira tenggelam dalam kengerian yang dirinya ciptakan sendiri.
“Mas, bisa anterin kesini” tanya Mira kepada seseorang yang duduk berteduh, Mira menunjuk tulisan dalam bukunya, namun seperti yang lain, mas-mas tersebut tiba-tiba pergi meninggalkan Mira seorang diri,
“Asu” ucap Mira lirih, sudah lebih dari 10 kali dirinya di perlakukan seperti ini, tanpa dapat satu-pun orang yang mau membantunya, Mira terpaksa tidur di stasiun, saat itu dirinya bertemu lagi dengan si petugas, “Mbak yang tadi toh”
Mira berdiri menatapnya, “Saya ndak dapat tumpangan pak”
Si petugas kemudian duduk, dirinya menatap Mira, “ya sudah, saya antar saja ya”
Hujam sudah reda, namun mendung belum juga pergi, si petugas stasiun memberi Mira helm sebelum mengeluarkan motor buntut tahun lama ini, Mira menaikinya, perlahan motor berjalan pelan sebelum akhirnya menembus jalanan, di sana dirinya bercerita, bercerita tentang desa tersebut.
“Terakhir saya kesana itu sudah lama mbak” dirinya melihat Mira dari kaca spion, “Kalau mbak bingung kenapa banyak orang menolak sebenarnya karena sesuatu mbak”
“Sesuatu?”
“Iya. katanya, di sana” si petugas menelan ludah tampak ragu, “Ada Brangos”
“Brangos itu apa pak?”
Si petugas diam tidak ingin menjawab.
“Saya ndak bisa ngasih tahu lebih jauh, katanya Brangosnya muncul juga baru beberapa tahun ini, saya belum pernah lihat, saya juga penasaran sebenarnya”
“Muncul? maksudnya?”
“Ya muncul mbak”
Motor mulai memasuki area jalanan tanah, di kiri kanan jalan banyak sekali tumbuhan bambu
Belum pernah Mira merasakan perasaan setakut ini, namun, setiap motor melaju, ketakutan tersebut terus menumpuk, pelan, pelan sekali, seperti sesuatu berbisik-bisik di telinganya, Mira mulai melihatnya.
Kerumunan orang berjalan bersama-sama, si petugas menghentikan motornya.
“Mohon maaf mbak, saya pikir saya berani loh tadi, ternyata ciut juga nyali saya” dirinya menunjuk kerumunan orang itu, “Mereka warga desa di sana, mbak ikuti saja mereka, Ngapunten saya harus balik” (minta maaf saya harus kambali).
Meski aneh, Mira melangkah turun, setelah berterimakasih, Mira mendekati kerumunan orang-orang tersenit langsung memandang Mira dari kejauhan,
Meski ragu, Mira berjalan mendekati, di depan gapura desa Mira bisa melihat pohon besar, salah satu dari mereka mendekati Mira, bertanya kedatangannya kesini, Mira menurunkan tasnya bersiap mengambil buku itu, namun, dirinya ingat Bila dirinya menunjukkan buku tersebut, Mira takut mereka akan bereaksi sesuatu yang tidak di inginkan, lantas Mira mengatakannya bahwa dirinya adalah jurnalis yang datang untuk meliput desa ini
Pandangan orang-orang tersebut tampak tidak senang, tak ada satupun yang tersenyum, namun Mira melihat sesuatu di salah satu rumah, Mira menatap banyak sekali anak-anak kecil perempuan, mereka berlarian di depan sebuah rumah, tak beberapa lama, anak-anak perempuan tersebut menatap Mira sebelum tersenyum kepadanya.
Mira merinding melihatnya, karena setelahnya, seseorang mendekatinya, berbicara dengan si lelaki yang mendatangi Mira, “Pak, sampon sedo” (pak, dia sudah meninggal) meski orang itu masih tidak senang dengan kehadiran Mira, namun akhirnya mereka membiarkan Mira begitu saja, anak-anak perempuan tersebut lenyap sesaat kemudian.
Mira baru saja mengetahui setelah dirinya mencuri dengar, bahwa kedatangan orang-orang ini adalah menjenguk salah satu dari mereka yang tengah sakit, dan sekarang orang tersebyt sudah meninggal, mereka berkerumun di rumah duka, Mira masih mengawasi dari jauh, bertanya-tanya kenapa tak seorangpun bersahabat dengan kedatangannya. Mira semakin tidak mengerti bagaimana dirinya mencari semua ini, bila tak ada satupun yang mau membuka mulut, Mira berdiri masih menatap rumah duka, dirinya melihat orang-orang itu yang menggendong mayat sebelum meletakkanya di ruang tengah, orang-orang mulai mengelilinginya.
Mira masih menatap si mayayt, dengan kain kafan putih dirinya berbaring di atas tikar, sesuatu tiba-tiba berbisik di telinga Mira, berbisik lirih sebelum terdengar jelas, sesuatu seperti, “Tangi” (Bangun)
Tiba-tiba, entah bagaimana semua ini terjadi, Mira dan semua orang yang ada di sana menyaksikannya secara langsung, mayit yang sudah di kafani tiba-tiba terbangun, dirinya duduk menatap Mira dari dalam rumah.
“Brangos!!” batin Mira, jantungnya seperti berhenti saat melihatnya.
Orang yang ada di dalam rumah seketika menutup pintu, sedangkan orang-orang yang ada di luar rumah berkerumun mencari tahu apa yang terjadi, dari semua pemandangan tersebut, Mira yg paling penasaran, fenomena apalagi yg ia lihat ini.
“ada apa ini pak?” tanya Mira,
“berangos mbak, mayit sing urip maneh mergo onok pakane Rinjani nang kene!!” (mayat yang hidup lagi karena mencium makanan Rinjani)
“Opo?”
Si bapak geleng kepala, malas menjelaskan, mereka masih berkerumun mencari tahu, Mira semakin merinding
“Wes suwe loh gak kedaden ngene lah kok isok” (sudah lama loh gak kejadian Cerita Misteri Padusan Pituh begini, kok bisa muncul lagi) kata seorang lelaki pada temannya, Mira hanya mendengarkan, sesekali dirinya ingin melihat, namun rumah duka tertutup rapat
Tak beberapa lama, seorang anak kecil laki-laki berjalan mendekat, dirinya mengenakan pakaian serba putih sebelum dirinya masuk, anak lelaki itu berhenti menoleh melihat Mira.
Mira tertegun menatap anak itu, karena saat dirinya mendekat semua orang menunduk kepadanya, anak itu melangkah masuk ke dalam rumah duka, Mira mendekati orang di sampingnya bertanya perihal siapa anak itu,
“Anda tidak tahu beliau siapa?”
Mira menggelengkan kepala, “Beliau adalah Kuncen mbak”
“Kuncen” ucap Mira,
“Kuncen di desa ini”
Pintu terbuka, seseorang melangkah mendekati Mira sebelum memintanya untuk ikut masuk, awalnya Mira ragu namun dirinya akhirnya mengikuti, yang pertama Mira lihat saat melangkah masuk ke dalam rumah itu adalah mayat di depannya berdiri dengan kapas yang masih di hidung, matanya menatap Mira.
anak lelaki tersebut tengah duduk, matanya mengawasi Mira, “wes suwe ket kapan kae, pakane Rinjani mampir nang deso iki” (Sudah lama sejak makanan Rinjani terakhir mampir ke desa ini)
Mira menatap anak lelaki itu, dirinya tahu dia sedang berbicara dengannya,
“Ngapunten, asmone kulo, Ara” (maaf sebelumnya, kenalkan nama saya, Ara)
“Saya Mira” ucap Mira sembari masih mengawasi mayat yang terus berdiri di sampingnya, tak sedikitpun Mira takut, justru dirinya begitu tertarik,
“Bagaimana bisa seperti ini?” tanya Mira,
Ara menunduk sebelum mengatakan kepadanya, “Itu karena kamu menginjak kaki di tanah ini, tanah milik Rinjani”
Mira terdiam, banyak pertanyaan di dalam kepalanya, namun tampaknya anak lelaki itu sedang tidak ingin bicara banyak, yang terjadi selanjutnya, si mayat di ikat,
Sebelum di masukkan paksa ke dalam keranda
“Melok aku Mir, tak duduhno opo sing mok goleki” (kut aku Mir, akan ku tunjukkan apa yang kamu cari)
Mira dan rombongan itu berjalan masuk ke dalam kebun, banyak sekali pohon-pohon besar tinggi di kanan kiri, setelah menempuh jalan yang cukup jauh, mereka berhenti di salah satu rumah tua, Mira mengenal rumah tersebut, itu adalah rumah yang ada di dalam foto,
orang-orang mengeluarkan mayat mengikatnya dengan tali tambang, Mira bingung melihat pemandangan tersebut, karena yang terjadi selanjutnya, tali si mayit di tarik di gantung di atas pohon, di sana Mira tercekat menyaksikannya, tepat di atas sana, Mira bisa melihat ada 7 mayit yang sudah gantung di dahan-dahan pohon tersebut
Mira tak bisa berkomentar, dirinya shock menyaksikan pemandangan gila tersebut,
Belum berhenti sampai di sana, Mira harus melonjak kaget saat satu persatu mayit-mayit yang di gantung tersebut mulai bergerak, menggeliat satu sama lain,
“Mereka hidup” batin Mira,
“Wes ngerti bahayane ilmu-mu”
PASARAN |
KLIK |
|
PASARAN SYDNEY |
10 18 17 14 70 78 74 40 48 47 |
|
PASARAN COLOMBO |
23 21 26 29 63 61 69 93 91 96 |
|
PASARAN SCOTLAND |
37 31 32 38 27 21 28 87 81 82 |
|
PASARAN SINGAPORE |
SELASA DAN JUMAT LIBUR |
|
PASARAN JAMAICA |
36 39 35 38 56 59 58 86 89 85 |
|
PASARAN UGANDA |
24 21 27 29 74 71 79 91 94 97 |
|
PASARAN HONGKONG |
83 87 81 86 13 17 16 63 67 61 |
|
PASARAN KENYA |
67 60 69 61 17 10 19 97 90 91 |
|
PASARAN SLOVAKIA |
96 94 98 97 46 48 47 86 84 87 |
“Monggo” (silahkan)
Mira melangkah masuk di dalam sebuah ruangan besar, dari luar rumah ini memang begitu megah, terlalu megah untuk di miliki seseorang di desa ini, namun yang bisa Mira nilai dari rumah ini adalah bahwa rumah ini sudah di tinggalkan
Ada hal yang membuat Mira sadar dirinya tidak pernah di sambut di sini, tak seorangpun terlihat senang terutama saat tahu siapa dirinya, namun hanya anak lelaki ini yang tampak begitu tenang, sesekali dirinya tersenyum dengan wajah polosnya namun Mira tahu, ada seseorang di balik raganya ini.
“Wes suwe aku ngenteni kowe, sing ragil sing paling janjeni” (sudah lama saya nunggu kamu, yang paling muda, yang paling menjanjikan)
Ruangan tersebut sangat pengap, tak seorangpun di ijinkan masuk, orang-orang desa menunggu di luar rumah, anak lelaki bernama Ara itu terus berbicara,
“Ragil?” ulang Mira, “tapi saya anak pertama”
“Ora” kata Ara, “Awakmu ragil, aku wes tahu ketemu ambek kabeh pakane Rinjani, koen sing terakhir” (saya sudah pernah bertemu dengan makanannya Rinjani dan kamu adalah yang terakhir)
Mira tak mengerti, anak tersebut masih memandanginya,
Mira menurunkan tas punggungnya, mengeluarkan buku tua, dirinya membuka lembar perlembar sampai di gambar wanita dengan rambut panjang itu, Mira menunjukkan gambar tersebut pada anak lelaki itu dan wajahnya seketika berubah, dirinya memalingkan wajah, “Nduk” katanya seraya berpaling,
“Ojok pisan-pisan kowe wani nduduhno aku Rinjani!!” (Jangan sekali-sekali menunjukkan kepadaku Rinjani!!) ucap Ara,
“Apa itu Rinjani?”
Ara meminta Mira memasukkan kembali bukunya sembari dirinya menata duduknya, sebelum dirinya mulai mengatakannya,
“Rinjani adalah ingon milik Codro!!”
“Aku kenal karo bapakmu nduk” (saya mengenal siapa ayahmu) ucap Ara, “dia orang baik, sekaligus abdi kuncen yang bisa di percaya, dia jaga tempat itu karena memang tidak boleh sembarang orang yang mendekatinya”
“Kuncen Padusan pituh”
“Suatu hari ada dayoh datang ke tempat itu” Ara diam, dirinya mencoba mengingat kembali kejadian itu “dayoh itu adalah poro benggolo, mereka datang menyampaikan pesan bahwa tuan mereka akan datang kesini untuk mengambil sesuatu yang menjadi miliknya. kamu tahu apa itu?”
Mira menggelengkan kepala,
“Rinjani”
Mira tidak mengerti maksud dari Ara, namun Ara seperti bisa membaca pikiran Mira,
“Rinjani dulu manusia, terlalu kuat tapi justru karena kuatnya dia, Codro ingin menjadikannya ingon miliknya”
“Simbol warna dalam budaya jawa hanya ada dua, hitam dan juga putih” Ara menjelaskan, “Untuk menguasai putih seseorang harus benar-benar hitam terlebih dahulu, Rinjani benar-benar hitam, sudah ratusan orang melihat kengerian yang dirinya ciptakan”
“Setiap Rinjani datang ke desa-desa, anak-anak pasti menangis, selusin orang akan mati, Rinjani seperti penyakit, namun suatu hari entah apa yang terjadi dengannya, mungkin karena terlalu kuat atau apa, dirinya mengurung diri di sana, tempat akhirnya bapakmu mau jadi sebagai kuncennya”
“Rinjani ingin menjadi putih, dirinya sudah melalui jalan sehitam itu, namun sayangnya, Codro tak membiarkannya, dirinya ingin Rinjani tetap hitam, malam itu adalah malam yang paling gelap, ternak banyak yang mati, gagal panen di mana-mana, tapi Codro ingin Rinjani”
“Setiap hari, Codro kirim anak-anak ke tempatnya, Rinjani suka anak-anak, terutama anak perempuan, dirinya suka membelai rambut mereka, namun rasa suka itu perlahan menggerogoti isi kepalanya, Rinjani mulai berubah, dirinya mulai mencabut sehelai demi sehelai rambut anak-itu, sampai mati!!”
“Setiap hari, selalu ada anak perempuan yang masuk ke tempatnya dan tidak pernah keluar lagi, Kuncen yang semula menjaganya karena ingin Rinjani berubah, mulai ragu, mereka tidak mau lagi menuruti perintah Codro memberi Rinjani anak lagi”
“Saat itulah untuk pertama kalinya Rinjani menampakkan dirinya, dirinya keluar dari tempatnya bertapa, kulitnya tirus pucat, tangan dan kakinya kurus kering, namun rambutnya begitu panjang, dirinya menatap semua Kuncennya lalu bersumpah, anak pertama dari mereka akan menjadi makanannya”
“Maksudmu makhluk itu ingin saya?” tanya Mira, dirinya tidak begitu percaya dengan ucapan Ara, anak kecil yang di rasuki oleh sesuatu yang seperti ingin menggiringnya,
“Bukan itu yang saya ingin sampaikan” Ara menatap Mira, “Kau tahu, bapakmu benar-benar orang yang hebat!!”
“Paling hebat, karena dari 7 Kuncen yang memiliki anak, hanya bapakmu yang berhasil menangkal kutukan Rinjani untuk mendapatkanmu, setidaknya membiarkanmu hidup sampai sejauh ini. Karena itu, aku manggil kamu Ragil, paling muda di antara mereka”
“Tapi” Ara menatap Mira aneh, “setahun yang lalu, muncul dua orang perempuan yang datang ke desa ini, dia juga bisa menjadikan mayat hidup lagi sama sepertimu, namun aku tidak tahu siapa dirinya, pengetahuanku terbatas, dia hanya bertanya di mana Rinjani sekarang”
“Tapi salah satu dari mereka bukan sembarangan orang aku tahu” kata Ara,
Mira tiba-tiba membuka kembali lembaran-lembaran di bukunya, dirinya menatap Ara sebelum menulis sesuatu di atasnya, dirinya menunjukkan pada Ara saat itu juga,
“Sengarturih dan Bonorogo!!”
“Benar” kata Ara, “Salah satu dari mereka di ikuti oleh makhluk itu, bagaimana kamu bisa tahu?”
“Entahlah” kata Mira “Aku hanya menulis sesuatu yang kau ceritakan!! untuk apa mereka mencari Rinjani?”
“Aku tidak tahu, sepertinya akan terjadi sesuatu yang sangat buruk!!”
“Lantas, aku kesini dengan satu pertanyaan”
Ara mengamati Mira, dirinya tahu apa yang akan di katakan oleh Mira,
“Jangan nduk, bapakmu sudah susah payah ngelepasin kamu dari Rinjani, jangan kau tukar nyawamu dengan darah dagingnya Codro, Kuperingatkan kau!!”
“Aku juga harus mencari Rinjani!!” ucap Mira,
“Bangsat!!” teriak Ara, “kau tahu berapa lama aku nunggu kamu di sini untuk menyampaikan permintaan bapakmu langsung, kalian benar-benar sama, bodoh dan juga nekat!! Rinjani tak akan pernah bisa di ajak bicara, setidaknya itu yang terjadi dengan kepala keluarga Codro terakhir!! dia mati di tangan Rinjani!!”
“Codro mati?!” tanya Mira,
“Benar, sekarang keturunannya lah yang sekarang bersembunyi, dia menunggumu mematahkan sumpah bapakmu sendiri!!”
“Aku tetap harus ke tempat Rinjani, ada yang harus di benarkan” ucap Mira,
Mira menatap Ara, dirinya diam lama, sampai akhirnya anak lelaki itu menyerah, “bila memang kau memaksa dan aku harus melanggar sumpahku juga, akan aku lakukan”
Dua orang lelaki desa melangkah masuk ke ruangan
Satu dari mereka menarik rambut Mira, membuatnya menatap ke langit-langit, sementara yang lain memegang tangan Mira, menahannya, Ara berdiri di atas meja menatap wajah Mira, sebelum memasukkan tangan kecilnya ke dalam mulutnya.
“Ini akan sakit sekali, tahan!!”
Mira tercekat, tubunya mengejang saat anak lelaki itu menarik sesuatu di dalamnya,
“Ini adalah sumpah bapakmu Mir, sumpah yang tidak pernah dia buat dengan yang lain, namun untukmu dia harus mengorbankan nyawanya!!”
Mira menatap rambut di pintal di tarik terus mnerus dari mulut Mira panjang, sangat panjang sekali, Mira terus meronta, isi perutnya seperti di tarik, sementara Ara terus berujar, “ingat sekarang, ingat Mir”
Sekelebat bayangan neneknya muncul, Mira mengingatnya, mengingat saat neneknya merawatnya, piring berisi makanan yang Mira makan selama ini rupanya sepiring rambut panjang yang masuk ke dalam tubuhnya.
MJata Mira berair, rasa sakit itu menyeruak masuk ke dalam tubuhnya, sementara dari tenggorokannya rambut yang di pintal terus keluar, panjang, sangat panjang sekali
Setelah Ara berhasil mengeluarkan rambut panjang itu, Mira memuntahkan isi perutnya, “Sejak kapan!! sejak kapan!! mbahku melakukan itu”
Ara menatap Mira, di tangannya rambut itu tersulur panjang, “ini adalah rambut Rinjani, untuk mendapatkannya, bapakmu sampai harus mati!!”
Seseorang melangkah masuk, Ia berteriak, “Mayite wes mati, mayite wes mati!!” katanya, salah satu dari lelaki di ruangan menatap Ara, “yo mati to, wes dadi mayit!!” (ya iyalah sudah mati namanya juga mayit)
Saat itu, Mira menyadari Cerita Misteri Padusan Pituh, dirinya sudah kembali, namun dari jauh bisikan itu datang, bisikan yang selalu membuat Mira dulu senantiasa di tegur oleh neneknya, suara yang memanggil-manggil namanya. “sepertinya, dia memanggilku” Mira menatap Ara, sebelum menoleh, matanya menerawang jauh ke pemandangan di luar jendela, “Rinjani memanggilku”
Sumber: Threader