Jangan Baca Sendirian, Cerita Misteri Padusan Pituh, Dijamin Bikin Tegang
Cerita Misteri Padusan Pituh. Saya inget, malam itu, saya lagi mau tidur. lampu kamar udah saya matikan, di luar turun hujan gede” “tiba-tiba.. saya denger suara pintu kamar di buka, karena saya penasaran, saya turun dari tempat tidur, saya jalan sampe pintu kamar, pas saya intip, ternyata ada nyokap saya, wajahnya.. kaya orang bingung gitu.
“Saya udah mau buka pintu kamar, tapi.. tiba-tiba, nyokap saya masuk ke kamar itu” “awalnya saya pikir selesai, toh dia berdiri di kamar adik saya, namanya.. Lindu” “pas saya mau balik ke tempat tidur, tiba-tiba, saya denger suara Lindu teriak kenceng!!” “nyokap mau bunuh anaknya sendiri!!”
“Saya lari, di ikuti orang serumah” “lo tau apa yang terjadi disana?” wanita itu menatap semua orang yang melihatnya bercerita.
“Nyokap cekik anaknya, iya, anaknya yang masih umur 7 tahun!!” wanita itu tertawa sembari bercerita, membuat semua yang mendengarnya merasa tidak nyaman.
“Nyokap saya sakit!! SAKIT BANGET!! padahal, dulu dia gak pernah begitu, sebelum kedatangan yang kata nenek saya, rumah saya kedatangan Dayoh Rencang!!” wanita tersebut menunggu, dirinya melihat ekspresi semua orang, namun, tampaknya tidak ada yang mengerti maksud ucapannya. Dirinya masih menunggu. Cerita Misteri Padusan Pituh
Seorang lelaki berewok lantas bertanya pada wanita yang masih tenang duduk tersebut, senyumnya ganjil. “Dayoh rencang itu apa? bahasa jawa ya?”
Wanita itu tersenyum “saya dari jawa, tapi saya gak bisa bahasa jawa, tapi.. kata teman jawa saya, itu istilah kuno, bukan bahasanya namun”
Wanita itu seperti tidak mau melanjutkan ucapannya, namun ekspresi penasaran semua orang yang menunggu cerita itu di lanjutkan masih bertanya-tanya, “Dayoh Rencang memiliki makna simbolis yang sudah lama tidak pernah disebut lagi, makna filosofis dari datangnya, hantu anak-anak!”
“Hantu anak-anak, maksudnya?!” tanya salah satu pendengar,
“Nyokap saya mendapat pesan dari hantu anak-anak itu, dia bilang, Lindu itu” “ANAK SETAN!!” “mereka datang, buat jemput Lindu”
“Sekarang bayangin ekspresi nyokap lu ngatain SETAN sambil nyekik darah dagingnya sendiri”
“Tapi satu yang saya inget!!” “nenek saya pernah mengatakan sesuatu yang bener-bener ganggu pikiran saya sampe saat ini”
“Apaan?” tanya lelaki berewok itu lagi.
“PADUSAN PITUH” “karena selepas kejadian tersebut, nyokap saya langsung di pasung, sampe akhirnya mati karena gigit lidahnya sendiri”
“Diakhir hidupnya, dia menulis sebuah nama. CODRO BENGGOLO dan ANGGODO kudu nerimo ROGOT NYOWO!!”
“Cuk!!” bisik seorang lelaki, “ngedongeng teros, ibuk mateni anak lah, ibuk mati bunuh diri lah, pancen seneng nggarai wong keweden!! Mir, Mira” (dongeng terus, ibu bunuh anaknya lah, ibu bunuh diri lah, memang paling suka bikin orang takut ya kamu!! Mir, Mira)
Mira, nama itu memang sudah hampir terkenal di kalangan anak-anak yang bekerja di kantor ini, salah satu dari pencerita paling ngawur namun memberi esensi horror lain yang membuat semua temannya tidak bosan mendengar ceritanya, Mira menatap Riko, lelaki di depannya, dirinya tersenyum.
“Gak semua ceritaku karangan!! ada beberapa yang nyata, dan kalau aku ngasih tau kamu mana yang asli, kamu bakal lupa caranya kencing di kamar mandi!!”
Riko tidak peduli. ” nama terakhir itu, apa.. ROGOT NYOWO!! aku kayak pernah dengar, tapi apa ya? itu ngarang juga?”
Mira, diam. “Mir, saya minta file kasus orang bunuh diri itu, kirim ke email ya!!” teriak seorang perempuan dari seberang meja, Riko langsung menanggapi, “Gak usah ikutan ngomong saya lo, kamu orang jawa, pakai aku aja, dulu pertama kesini malah pake saya kamu!!”
“Iya” jawab Mira
Riko yang entah karena memang senggang, tiba-tiba melihat sebuah jurnal di atas meja Mira.
Mira yang kembali menatap layar monitornya membuat Riko secara sembunyi-sembunyi mengambilnya, disana, Riko membuka jurnal tersebut, didalamnya banyak sekali sobekan dari koran-koran tua untuk apa Mira menyimpan potongan koran tua tersebut, Riko membuka lembar per lembar, semua tidak ada yang dimengerti oleh Riko, sampai Riko terhenti di salah satu halaman dengan headline “satu keluarga kaya tewas satu persatu akibat Santet kuno” Riko menatap Mira yang belum menyadari di samping potongan koran ada kertas kosong, tertulis disana sebuah tulisana yang di coret-coret dengan pena, Riko menatap tulisan itu yang terbaca, “JANUR IRENG!!” sebelum Mira sadar dan menatap sengit Riko dan merebut jurnal tersebut.
“ASU KOEN, MINGGAT!! usir Mira,
Riko pergi. Jam makan siang, seseorang memanggil Mira, dirinya mendekat lalu duduk, di hadapannya ada Riko dan Stella, salah satu atasannya.
“Riko cerita, kamu masih nyelidiki kasus itu? kasus lama yang bahkan sampe jadi semacam cerita legenda gitu, apa itu?” Stella menatap Riko.
“JANUR IRENG”
“yes. JANUR IRENG!!” kata Stella, “Gak ada gitu sesuatu yang bikin kamu tertarik, ya maksudku bukannya ngelarang, tapi kasus itu sampe sekarang gak ada yang tahu, bahkan apa yang terjadi saja gak ada buktinya, lagian dapat nama JANUR IRENG darimana?” anya Stella.
“Lindu” jawab Mira, Stella tampak berpikir, dirinya menatap Riko dan Mira bergantian sebelum, “ada 3 orang yang pernah terlibat dalam koran di jurnalmu!!” Stella mengamati sekeliling, “satu orang mati!! satunya gila!! dan satunya” Stella menyesap rokok, “jadi kaya melintir!!”
“itu kasus paling aneh Mir!!”
Mira membuka pintu rumah, dirinya berjalan menelusuri ruang tamu, dari salah satu pintu kamar, Mira membukanya, di dalam sana, dirinya melihat ibunya tengah sholat
Mira kembali menutup pintu, namun tiba-tiba, dirinya melihat Lindu berdiri di depannya “ibuk gak boleh sholat!!” Mira diam,
Mira melihat tangan Lindu, jemarinya berdarah-darah, “sudah pulang nak” sahut ibunya membuka pintu kamar, “anak itu sudah keluar, tadi ibu kunci dia di gudang bawah”
“Anak sekecil ini kenapa di perlakukan seperti itu buk” jelas Mira,
“Karena anak ini adalah Benggolo!!” sahut ibu \
Sudah ratusan kali Mira mendengar nama “Benggolo” entah dari almarhumah neneknya sampai ibunya, seakan nama tersebut adalah hal terburuk, namun setiap di tanya apa itu Benggolo tak ada satupun yang ingin menjawabnya.
Mira menggandeng Lindu masuk ke kamarnya, sejak awal, hidup Mira hanya melihat ibuk dan juga anak seolah-olah ingin saling bunuh membunuh.
Rumah ini terasa seperti neraka. Mira membantu adiknya membersihkan luka di tangannya, “kamu nyakarin pintu lagi” tanya Mira,
“Iyo mbak” Lindu tersenyum, “Mbak, ibuk ojok oleh sembayang maneh, engkok, dayohe teko maneh” (kak, ibu jangan dibolehin sholat nanti tamunya datang lagi)
“Dayoh sopo seh Ndu, sembahyang kan kewajiban” (tamu siapa yang datang, sholat itu kewajiban)
Lindu lantas berbisik lirih, “Umur’e ibuk wes gak dowo mbak, aku mau ndelok onok Dayoh teko” (umur ibuk gak panjang, tadi aku lihat tamunya sudah datang)
Mira menatap adiknya ngeri, Lindu menarik tangan Mira, membawanya ke jendela kamar, menyibak tirai itu, lantas Mira bisa melihat halaman rumahnya, namun, tidak ada siapapun disana.
“Iku mbak, onok sitok sing longgoh nang nisor wet pencit” (itu kak, ada satu yg lagi duduk dibawah pohon mangga)
Mira bingung, Lindu melambai, membuat Mira akhirnya menutup tirai, dirinya memeluk adiknya.
Hening, sunyi, sebelum, “MIRAAAA!!” teriakan ibunya membuat Mira tercekat dan pergi menuju kamar ibunya, disana, ibunya mencakar kelopak matanya sendiri, menariknya seakan dirinya ingin merobek wajahnya, Mira menjerit. Butuh waktu bagi Mira untuk sadar sebelum dirinya mengkekal tangan ibunya agar berhenti melakukan hal itu, darah keluar dari kelopak matanya, “onok opo buk!!” (ada apa buk)
Ibu Mira menunjuk jendela, Mira perlahan-lahan, mengintip jendela ibunya saat dengan mata kepala sendiri, Mira-
melihat, seorang anak perempuan, tidak, lebih dari ratusan anak perempuan dengan pakaian lusuh, mereka bertelanjang kaki berdiri memenuhi halaman rumah Mira.. mereka serempak mengatakannya, “Balekno Benggoloku!!” (kembalikan Benggoloku!!)
Mira kembali menutup tirai, saat itu dirinya melihat ibunya kembali.
“Onok opo asline buk!!” (ada apa sebenarnya buk)
Ibu Mira tampak diam, namun Mira terus mencoba membuat ibunya bicara, sampai, Lindu masuk ke kamar dan melihat Mira dan ibunya..
“Anak itu milik seseorang”
“Anak orang gimana buk, aku lihat ibuk yang melahirkannya!!”
Ibu Mira menatapnya” dia bukan saudaramu!! CODRO, ingat nama itu nduk, nama yang pernah disebut nenekmu. Lindu anaknya”
“Kenapa dengan Codro? dan siapa dia?”
Lindu tiba-tiba mengatakannya, “ROGOT NYOWO mbak”
“Iya, Rogot nyowo” kata ibu Mira, “Dia butuh Lindu, untuk melindunginya dari Rogot nyowo”
“Aku gak ngerti buk.. Lindu bukan saudaraku bagaimana, jelas-jelas ibuk yang melahirkannya?”
“Codro meniduri setiap janda, saat bapakmu mati, ibuk..” ibu Mira mulai menangis,
Lindu mendekati Mira dan ibu, “nek aku metu, Dayohe bakalan ngaleh” (kalau aku keluar, tamu yang datang akan pergi)
Mira menatap adiknya, mencengkram tangannya, “jangan!! ibuk belum menjelaskan semuanya” “apa itu Rogot nyowo dan apa hubungannya?”
“Rogot Nyowo iku sumpah wong pitu nang persekutuan keluarga, ben keluarga nduwe ingon lan kutukane dewe-dewe, sak iki, onok balak sing nggarai getih pituh kepecah, kabeh keluarga podo masang awak kanggo ngindari sumpah Rogote dewe-dewe”
(Rogot nyowo adalah sebuah sumpah dari 7 orang yang bersekutu, keluarga besar, yang semuanya punya peliharaan dan kutukannya sendiri-sendiri, sekarang, bencana yang membuat 7 darah terpecah, membuat semua keluarga pasang badan untuk menghindari sumpahnya mereka sendiri-sendiri).
Mendengar penjelasan itu dari ibunya, Mira lantas memeluk Lindu, “tetap saja, dia ini anakmu, gak seharusnya di serahkan” saat Mira mengatakan itu, dirinya ingat, anak-anak perempuan di luar rumahnya, jangan-jangan, Lindu menatap Mira, dirinya mengangguk “mereka milik Codro mbak”
Mira memeluk ibu dan adiknya, menjaga mereka dari teriakan yang terus menerus memanggil “Benggolo!!” sampai tiba-tiba suara mereka hilang, lenyap.. semuanya, menjadi hening, sunyi. Sebelum, Lindu menggigit lengan Mira hingga robek, dan mencengkram kepala ibunya yang masih mengenakan mukenah, membenturkannya ke meja sembari berteriak keras-keras, “Wedokan goblok!!” (perempuan bodoh!!)
Mira meringis, melihat adiknya terus menerus menghantamkan kepala ibunya suara Lindu terdengar berat layaknya suara seorang lelaki tua, dirinya terus menerus menghantamkan kepala ibunya sebelum Mira menarik kerah bajunya, menghantamkannya ke lantai dan mencekik leher Lindu, dirinya melihat adiknya meronta-ronta, namun Mira terus mencekiknya
butuh waktu sebelum Mira benar-benar sadar atas apa yang dirinya perbuat, dirinya melepas Lindu, berlari keluar rumah dan berteriak keras sampai tetangganya berkumpul dan menyaksikan semua itu..
Mira beruntung, malam itu, tidak ada yang meninggal meski ibunya tidak sadarkan diri..
“Aku gak percaya sih sama cerita begitu” kata Riko, dirinya datang setelah Mira menelponnya
“Codro!!” “itu nama samaran atau bagaimana? banyak orang yang punya nama itu?” sahut Riko mengingatkannya,
Mira hanya diam, dirinya masih terbayang adiknya.. sampai Riko mengatakannya,
“Adikmu sejak dulu aneh kan” “gimana, kalau adikmu di ruqiah saja. Aku kenal orang yang bisa bantu, itu kalau kamu mau, sekaligus, menghindarkan adikmu dari ibumu?”
Mira menatap Riko, sebelum mengangguk, esok hari, saat semuanya kembali normal, Lindu harus dibawa
sebelum Mira pergi dan melihat kondisi rumahnya yabg penuh dengan tetangga yang membantu, Riko kembali memanggilnya, “Mir, Rogot nyowo yang kemarin aku tanyakan, aku sudah ingat”
Mira berhenti untuk mendengarkan, dirinya melihat Riko,
“Dulu aku punya kenalan yang pernah sebut Rogot nyowo”
Riko menatap Mira, “namanya, Dela Atmojo, tapi sudah lama aku gak pernah melihatnya lagi. nanti kalau ketemu dia, aku akan tanyakan maksud kalimat itu”
Mira diam, dirinya mengulangi nama itu “Dela Atmojo” darah di lengan Mira masih mengalir, dirinya menutupnya dengan potongan kain yang dia temukan, rumah masih ramai dengan tetangga yang berkumpul. Mira menatap ke sekeliling, menemukan Lindu yang di ikat seperti pencuri di pasar-pasar, “buk” kata Mira menatap ibunya, “Lindu biar ku bawa”
Mira melepas ikatan Lindu, menggendongnya paksa, semua tetangga menatap khawatir anak itu, “gak papa” kata Mira menenangkan semua tetangganya, tatapan mereka khawatir, ibuk hanya mengawasinya, dirinya tahu apa yang akan di lakukan anaknya
“Nduk” katanya, saat Mira mulai pergi,
“Koen bakal nyesel gowo iblis iki” (kau akan menyesal kalau membawa iblis ini)
Semua tetangga menatap Mira dan Lindu, “lalu gimana, mau di bunuh saja, ambilkan parang di dapur biar ku gorok di sini darah dagingmu!!” ancam Mira, tak ada yang berani berkomentar, sebelum Riko masuk
“Sudah Mir, ndak enak didelok wong akeh” (sudah Mir, gak enak di lihat orang banyak) bujuk Riko meraih Lindu dari tangan Mira, “Buk, biar tak bawa Lindu, mungkin ada cara biar dia tidak seperti ini” bujuk Riko yang hanya di tanggapi sinis oleh ibuk
“Terserah” sahut ibuk tak peduli Riko sudah pergi, ketika Mira berbalik berniat pergi, ibuk merengkuh anaknya, memeluknya sembari berbisik lirih, “Iki bapakmu nduk sing salah sak jane, ibuk melakukan ini biar kamu hidup” (ini semua salah ayahmu aku melakukan ini biar kamu bisa hidup)
Mira terlihat bingung,
“Maksudnya apa buk?” tanya Mira,
“Ibuk ndak bisa ngomong, Ibuk sudah janji sama mbah-mu, katanya kelahiranmu itu pertanda akan terjadinya Rogot nyowo!! ibuk takut Mir, takut kalau apa yang di bilang mbahmu kejadian”
“Rogot nyowo” Mira masih bingung, dirinya tak mengerti apapun itu
“Rogot nyowo itu apa buk”
“Ndak, ndak bisa, ibuk ndak mau bicara, ibuk sudah janji, kamu istimewa Mir, rogot nyowo di tentukan oleh tanganmu sendiri, ibuk tidak boleh mengobrak abrik takdir, kamu sudah di ikat oleh”
“oleh siapa buk?” paksa Mira,
namun, ibuk memilih diam,
“Terserah buk, Mira sudah besar tahu apa yang terbaik untuk Mira sendiri” Mira pergi,
Malam itu adalah malam terakhir Mira melihat ibunya, setidaknya itu mungkin menjadi yang terakhir kali, karena setelah itu, semua di mulai dari titik ini, Padusan pituh sudah menunggu Mira. Malam itu dingin, Mira duduk di depan di samping Riko yang tengah menyetir, dirinya menatap perempuan itu tampak muram, Lindu tengah tidur, malam ini begitu berat bagi mereka, hening, sebelum Mira berbicara, “Ibuk bilang lagi, dia nyebut Rogot nyowo lagi, aneh kan?”
PASARAN |
KLIK |
|
PASARAN SYDNEY |
27 23 26 29 37 36 39 37 36 39 |
|
PASARAN COLOMBO |
01 03 08 31 30 33 38 81 80 83 |
|
PASARAN SCOTLAND |
79 73 72 75 29 23 25 59 53 52 |
|
PASARAN SINGAPORE |
37 31 36 35 17 16 15 57 51 56 |
|
PASARAN JAMAICA |
10 12 19 15 90 92 95 50 52 59 |
|
PASARAN UGANDA |
23 24 26 29 43 46 49 93 94 96 |
|
PASARAN HONGKONG |
83 82 84 87 23 24 27 43 42 47 |
|
PASARAN KENYA |
93 98 97 73 78 79 28 23 29 27 |
|
PASARAN SLOVAKIA |
34 32 39 38 94 92 98 84 82 89 |
“gelap?” batin Mira, dirinya menatap Riko yang menggeleng bingung, tak beberapa lama, seorang ibuk mendekati mobil mereka, dirinya membawa tali di tangannya, Riko melangkah keluar, “wes teko le,” (sudah datang nak)
Riko mengangguk,
“Bawa kesini anaknya, biar kami urus”
“Urus bagaimana maksudnya buk?” tanya Riko dirinya bingung, sebelumnya bahkan dirinya belum memberitahu apapun kepada mereka semua, tapi seakan-akan mereka tahu bahwa Riko akan datang membawa sesuatu,
Terlalu lama, si ibuk itu mendekati mobil, menarik kaki Lindu dari kursi belakang,
wanita itu tampak sangat murka, beberapa kali dirinya menyebut “penyakit” dan hal itu membuat Mira marah, Mira mencoba menghentikan perlakuan kasar wanita itu, namun, dirinya menatap Mira sengit lalu berujar, “nyowo adekmu, opo nyowomu?” (nyawa adikmu apa nyawamu?)
Mira baru sadar, di sekeliling mobil sudah di penuhi wanita yang menatapnya marah, Riko hanya menggeleng pada Mira, dirinya tidak tahu apa yang terjadi di tempat ini,
Mira menelusuri lorong rumah, dirinya di tuntun perlahan- namun Mira selalu mendengar jeritan dari setiap kamar, suara memekikkan mereka membuat Mira semakin merasa terbebani, “Ndak usah di dengar” kata si wanita,
“Tempat apa ini”
“Omah Ruwut” (rumah tenung) Mira berhenti di salah satu kamar, dirinya penasaran dengan apa yang terjadi di dalamnya, tak ada apapun di sana kecuali sebuah ranjang kosong dengan seorang lelaki yang tengah duduk membelakangi pintu, Mira tertuju pada sosok lelaki itu, dirinya hanya diam, diam, sebelum perlahan tubuh lelaki itu bergerak, dirinya memutar tubuhnya perlahan-lahan, Mira memekik ngeri menatap tubuh lelaki itu berputar, menatapnya kosong, seketika pintu di tutup si wanita melihat Mira, “sudah tak bilang, ini omah ruwut mbak”
ruangan tersebut sangat pengap, sejauh mata memandang Mira hanya melihat tumpukan hasil bumi yang seperti tidak pernah di sentuh, di letakkan begitu saja memenuhi ruangan ini,
“Ini semua ucapan terima kasih dari orang-orang” kata si wanita, “Ndak usah di perdulikan”
Mira berdiri menatap sosok di balik tirai tersebut, dirinya berselimut karung gabah, seakan sedang bersembunyi membuat Mira begitu penasaran dengan sosok di baliknya
“Silahkan duduk mbak” ucap wanita itu, meletakkan kursi kayu di depan ranjang sebelum mendekatinya seperti tengah menguping
“Beliau bilang, selamat datang nduk” kata si wanita seakan menerjemahkan sosok misterius itu, “Wes wayahe awakmu menuhi janji bapakmu ambek padusan pituh” (sudah waktunya kamu memenuhi janji bapakmu dulu pada pemandian ketujuh)
ia kembali berbisik, dan wanita itu mengangguk, “wes suwe mbahmu matusono nggarahi awakmu lali, sak iki, aku takon, awakmu purun ngelakoni Sirat nang kene” (sudah lama nenekmu membisiki dirimu membuatmu lupa dengan semuanya, sekarang aku tanya, kamu mau saya membuka ingatanmu)
“Tempatmu tinggal dulu, padahal, kamu sudah lama tidak tinggal di sana?”
Mira teringat dengan tempat itu, “kost?”
“Iya, kenapa?”
“Entahlah, karena aku suka tempat itu” jawab Mira, si wanita tersenyum, dirinya mendekati sosok bernama Baduh tersebut, mendengar saat dia kembali berbisik, “kata Baduh, kamu menyembunyikan sesuatu di sana, sesuatu yang teramat penting, sehingga nenekmu sampai melakukan itu”
“ngelawan siji ae sewu nyowo gak cukup, opo maneh koen nduk, sing bakalan ngadepi loro menungso rai iblis model ngunu” (melawan satu saja seribu nyawa gak cukup, apalagi kamu nak, yang akan melawan dua dari mereka, manusia berwajah iblis seperti mereka)
Mira hanya diam mendengarkan, Rasanya dingin, saat tangan kecil itu menyentuhnya Mira gemetar, sesuatu perlahan-lahan kembali, dirinya ingat dia pernah menulis sesuatu, tidak hanya satu namun berlembar-lembar kertas, sesuatu yang perlahan menyeruak naik,
“Di bawah ubin Kost saya, di sana semua di tanam” ucap Mira,
Di bantu si wanita sosok itu perlahan membuka karung gabah, dan Mira melihatnya, wajahnya hancur seperti korban kebakaran, kakinya jauh lebih kecil di bandingkan badan dan kedua tangannya yang semuaya kurus kering,
dia menatap Mira iba,
“Hitam?” kata si wanita, “inilah akibat bila manusia kalap dengan warna hitam”
“Beliau dulu adalah satu dari orang yang pernah menjaga padusan pituh, meskipun ia tidak mengenal bapakmu karena memang setiap tahun beregenerasi, tapi satu yang beliau tahu”
“bapakmu tidak memenuhi janjinya sebagai seorang Kuncen”
“Kuncen?”
“Setelah ini, hidupmu akan semakin berat nak, sangat-sangat berat sampai kamu ada di titik ingin mati, dan saat hari itu datang, pilihan itu akan muncul dan di sana takdir kami di pertaruhkan” “tinggalkan adikmu di sini, kami yang akan menjaganya, pergilah ke tempatmu tinggal, cari apa yang harus kamu cari, lalu pergi” kata si wanita,
“Pergi” sahut si wanita, Mira meninggalkan tempat itu,
Mira menemukan Riko tengah duduk, saat dirinya melihat Mira dia mendekatinya, “Lindu gak papa, dia ada di kamar sedang tidur”
“Antarkan aku” kata Mira,
“Kemana?”
“Ke tempat kost’ku, aku mau ambil sesuatu di sana”
“Apa?” Riko tampak penasaran,
“Takdirku” jawab Mira, Malam itu, mobil Riko menembus kabut, belum pernah Mira memaksa dirinya sampai seperti ini, tak ada yang tahu apa saja yang Mira dengar karena setiap kali Riko bertanya, Mira seakan tidak ingin membahas semua itu, dirinya hanya bilang ada sesuatu yang harus dirinya pastikan di tempat kost itu.
Untungnya Riko masih mampu mengendalikan mobil, dirinya menghantam kepala Mira dengan sikunya, meski mobil sempat keluar jalan Riko berhasil menginjak rem kuat-kuat, dirinya menatap Mira pingsan dengan darah di kening,
“Asu!! meh mati aku!!” (Anj*ng!! hampir saja aku mati!!)
Mira tersenyum menatapnya, dirinya membuka pagar, pandangan Mira langsung tertuju di kamar mana tempat dulu dirinya tinggal, tiba-tiba perlahan ingatannya kembali, namun samar-samar
“Saya kira kamu ndak akan kesini, ibu itu bingung, kenapa kamu masih bayar kost padahal sudah ndak di sini”
Mira hanya tersenyum, bingung harus menjawab apa, dirinya melewati ibu itu yang masih menatap Mira heran,
“Mungkin Mira suka dengan tempat ini buk, jadi dia gak rela kamar bersejarahnya di tempati orang” sahut Riko, si ibuk tampak tidak puas,
“Kuncinya mana buk?” tanya Mira tiba-tiba “oh iya” sahut si ibuk, dirinya memberikan kunci pada Mira dan perempuan itu langsung menuju ke sana, Riko segera menyusul, meski si ibuk masih mengawasi namun Mira tak peduli, harga sewa di sini setidaknya cukup untuk membayar ganti rugi ingatannya, “di sini tempatnya” kata Riko, hal pertama yang dirinya rasakan saat masuk ke dalam kamar kecil ini adalah aroma debu yang menusuk, tak hanya itu, tempat ini benar-benar buruk untuk jadi tempat tinggal, Mira melihat Riko lantas dirinya bertanya “linggisnya mana?”
Riko kembali dengan 2 linggis di tangan, dirinya cepat-cepat mengunci pintu, “mau hancurin lantainya, kalau ketahuan, bisa di polisikan kita”
Mira tak menggubris, dirinya sedang asyik memeriksa lantai keramik, seakan sedang mencari sesuatu Riko menatap ke sekeliling tiba-tiba dirinya tertuju pada papan tulis di tembok. aneh, pikir Riko, untuk apa papan tulis itu di balik, Riko tersadar saat Mira memanggilnya, dirinya sudah ada di dapur, meminta Riko memberikan Linggis sebelum dirinya menghantamkannya di lantai, Riko pucat sudah lebih dari setengah jam Mira menghantam lantai-lantai keramik, Riko terus mengawasi pintu, bukan tidak mau membantu, sejak tadi di luar ibu kost mondar-mandir membuat Riko yang semakin pucat, dan semua terbayar saat Mira mengatakannya, “di sini!!” Riko mendekat, “Ini apaan?” hal pertama yang Riko katakan saat melihat sebuah kotak kayu di simpan di dalam lantai berkeramik,
Mira tak peduli, dirinya membuka kotak itu, dan di sana ia menemukannya lembaran foto-foto tua saat Mira masih kecil, di belakangnya ada seorang lelaki berkumis yang di tenggarai adalah bapak, Mira membuka lembar-per lembar, bapak mengenakan pakaian adat putih seakan menasbihkan dirinya benar-benar seorang kuncen, Mira terus mengamati sampai, dirinya berhenti di sebuah foto, bapak bersama 6 orang lain dengan pakaian yang sama berpose di sebuah tempat dengan rumah tua di belakangnya, di depannya ada seorang lelaki mengenakan pakaian hitam duduk di depan sendirian, foto orang itu di coret dengan spidol hitam,
“Siapa Mir?” Riko merebutnya namun Mira hanya diam,
Riko mengamati foto itu sebelum menaruhnya lagi, “Untuk apa kamu ngubur ini semua”
Mira terus menggeleng, ia tidak tahu harus menjawab apa, semuanya masih samar.
Riko mengambil sebuah buku tua dari kotak itu, namun Mira justru berdiri, matanya tertuju pada papan tulis terbalik di tembok, “Bantu aku angkat papan ini” katanya, Riko tidak mengerti namun ia setuju membantu Mira,
saat mereka membalik papan itu, Riko tercengang melihatnya,
“Sejak kapan kamu buat ini?” kata Riko mengamati setiap detail yang ada di dalam papan,
Mira mencoba mengingat-ingat, samar -samar semuanya kembali, setiap malam Mira mengerjakan ini, namun dirinya sendiri tidak tahu menahu kenapa mengerjakan hal-hal seperti ini, Riko mendekati, dirinya masih takjub mengamati setiap coretan dan kertas-kertas yang tertempel, ada banyak sekali tulisan yang Riko tidak mengerti, salah satunya adalah Padusan pituh dan, “Rinjani”
Riko menoleh ikut mengamati, banyak istilah yang di tulis dengan aksara jawa di bawahnya Riko hanya membaca beberapa hal yang tidak dirinya mengerti seperti,
“Gundik-colo” “lemah layat” “sewu dino” “janur ireng” namun anehnya, semua benang mengarah pada satu titik,
titik terakhir, ROGOT NYOWO?
“Mir, aku ngerasa gak enak sama semua ini, kayanya kamu harus berhenti”
“Sebentar” Mira merobek salah satu sobekan kertas di papan, dirinya menatap Riko sembari menunjukkan, “satu keluarga di bantai di malam pernikahan, inget gak sih ini tentang apa?”
“Janur ireng?”
Mira mengangguk
Riko bergerak mundur, sementara pintu terus menerus di ketuk, dirinya tak pernah merasa ada kejadian sejanggal ini, sebelum, hening
Riko menelan ludah, dan pintu di buka perlahan, hal pertama yang Mira lakukan adalah menerjang wanita itu, dirinya mencengkram lehernya, berusaha membunuhnya
“Putuku ra melok urusan iki, culno ben aku ikhlas ra onok nang dunyo iki!!” (cucuku tidak ikut urusan ini, lepaskan biar aku ikhlas tidak di dunia ini lagi)
Namun wanita itu tertawa, tawanya begitu aneh, suaranya seperti seorang lelaki, “Ra isok, aku butuh putumu” (tidak bisa)
(aku membutuhkan cucumu)
Mira berteriak keras sekali, namun wanita itu tertawa semakin keras, Mira mencengkram terus menerus lehernya, Riko yang awalnya diam, menarik Mira mencoba melepaskan cengkraman itu, “Edan!!” (gila) “bisa-bisa mati nih orang”
namun Mira terus melawan, semua kejadian gila itu membuat semua orang berkerumun sebelum memisahkan mereka,
“Mari iki, suwe ta gak, putumu bakal marani aku dewe, ben dek ne sing milih” (sebentar lagi, lama atau tidak cucumu sendiri yang akan mendatangiku, biar dia yang pilih)
wanita itu tersadar, dirinya menatap semua orang sebelum bertanya apa yang terjadi, Mira pun sama, dirinya tidak tahu kenapa semua orang berkerumun di sini, hari itu juga Riko membawa Mira pergi,
“Nanti ku jelasin apa yang terjadi” kata Riko,
Riko sudah meletakkan papan itu di dalam rumahnya, dirinya masih tidak dapat berkomentar bagaimana Mira bisa mengumpulkan semua ini, “Pantas kamu di terima jadi jurnalis, lha wong ngumpulin ini saja kamu bisa”
Mira tak perduli, dirinya terus menerus membaca buku tua itu,
“Dulu ibuk pernah bilang, ada ilmu yang namanya rogo sukmo, dan nenekku katanya bisa itu” jelas Mira,
“lha tapi nenekmu sudah lama mati kan?” kata Riko “Dia sudah gak butuh ilmu itu lagi, dia bisa masuk sewaktu-waktu”
“Bukan nenekku, tapi yang merasuki ibuk itu, dia pasti bisa”
“Kadang aku mikir” kata Riko, “Ini semua ilmu kejawen ya”
“kayaknya iya”
“Bagaimana kamu bisa mengumpulkan ini semua?”
“Entahlah” ucap Mira, lembar perlembar sudah Mira baca, semua itu menceritakan Rinjani yang tinggal di sebuah gunung di jawa, namun bukan gunung Rinjani Mira berdiri mengangkat tas’nya, “Kayanya aku harus pulang ke kampungku, ada yang mau aku cari”
Mira tidak perduli, dirinya mendekati sahabatnya itu “Aku titip Lindu, sampein ke mbak Stela juga, Aku cuti”
Riko tetap tidak setuju, dirinya mencengkram tangan Mira, namun perempuan itu menatapnya sengit, “Ini penting, lepasin”
“Aku ikut” kata Riko,
Mira menggeleng menjawab “Gak!!” “Kalau ada apa-apa kabarin saja” kata Mira, dirinya melangkah ke luar rumah, sudah lama Riko tidak melihat mata Mira seserius ini, Mira memang perempuan yang keras namun justru hal itu yang membuatnya berbeda di antara yang lain, Riko mencoba mengerti, dirinya melihat bayangan perempuan itu pergi stasiun sangat ramai, sembari menunggu kereta datang Mira duduk sembari beberapa kali dirinya membolak balik lembaran dalam buku itu, mencoba mengingat detail yang dirinya lupakan, namun sayangnya tak ada yang bisa di ingat, Mira tersadar saat ada seorang lelaki mendekatinya, bertanya kepadanya,
“Mbak punya korek ndak?” kata lelaki itu, “buat ngerokok”
Mira melihat lelaki itu sengit, tak menjawab pertanyaanya,
Si lelaki beringsut mundur takut, dari jauh lelaki lain berambut gondrong memanggilnya, “Rus, ayok, bis e wes tekan” (Rus, bisnya sudah datang) si lelaki menatap kawannya sebelum dirinya menatap perempuan itu lagi “Jangan galak-galak mbak, ndak dapat jodoh nanti”