Pusaka Keris Raksasa Kerajaan Batagu di Sungai Kapuas

Pusaka Keris Raksasa ini ditemukan oleh dua orang penyelam setempat ketika di sungai Kapuas, lokasi tepatnya berada di bawah jembatan pulau Telo, Kecamatan Selat Kabupaten Kapuas. Keris yang ditemukan sangatlah besar dan mempunyai panjang 1,5 meter. Tentunya ini merupakan bukan sembarang keris, terlebih lagi dengan adanya ukiran-ukiran unik pada pangkalnya. Walau gagang keris tersebut tidak dapat ditemukan, namun mempunyai suatu bentuk yang terbilang aneh, karena bentuknya menyerupai burung tingang yang menjadi ciri khas adat Kalteng.

Keris ini dipercaya sebagai pusaka yang tersembunyi, karena menurut saksi dari penemu pusaka ini, beberapa pengunjung yang ingin melihat dan menyentuh keris itu maka tangan mereka akan menjadi kaku seketika. Diperkirakan umur keris pusaka itu sudah mencapai 300 tahun.

Perkiraan sementara pusaka itu adalah senjata tradisional milik Indonesia yang ada hubungannya dengan kerajaan Bataguh yang juga di percaya telah muncul di Kapuas. Kerajaan Bataguh sendiri pada waktu itu dipimpin oleh Nyai Undang, seperti yang telah di ceritakan oleh seorang tokoh adat ternama dari Dayak dan bentuknya bukanlah seperti senjata warga Dayak, Kalimantan Tengah.

Kesimpulan yang menjadi pertimbangan, Pusaka keris itu adalah senjata yang terbenam bersama dengan kapal yang pada saat itu sedang menyerah kerajaan Bataguh. Peperangan yang terjadi sekitar 1400 Masehi, ” Kerajaan Bataguh mempunyai kekuasaan terbesar di Kapuas dan pulau Telo termasuk salah satu di dalamnya.”

Menurut warga setempat di Kapuas itu, pernah juga ditemukan sebuah meriam pada sungai Kapuas yang tak jauh dari pulau Telo. Posisi lebih tepatnya berada di Mandomai, Kecamatan Kapuas Barat. Dengan temuan-temuan besar seperti itu telah menguatkan penilaian tentang sejarah perperangan kerajaan Bataguh dengan orang luar.

Berdasarkan cerita sejarah yang dikumpulkan, ujung keris raksasa itu mempunyai tujuh lobang. Dahulunya lubang tersebut memperlihatkan kalau keris itu sudah pernah memakan korban. Seperti dengan senjata Dayak Mandau, apabila terdapat lubang di ujung senjata maka sudah jelas senjata itu pernah membunuh seseorang.

Penemuan pusaka keris raksasa tersebut menamai senjata itu dengan “ketuahan” yang berati adalah keberuntungan dalam bahasa DAYAK, karena tak semua orang bisa menemukannya. Pusaka itu juga dipercaya mempunyai daya magis yang cukup kuat dan biasanya penemu keris merupakan orang-orang yang terpilih.

Aneka Batu Akik Indonesia yang Terkenal

Aneka batu akik yang terkenal berasal dari berbagai daerah Indonesia beragam bentuk dan keindahan yang pasti akan menarik para peminat batu akik. Terlebih lagi pandangan orang Indonesia mengenai batu akik yang berhubungan dengan mistis ini telah berubah menjadi sebuah tren mode dan gaya hidup.

Batu Akik atau nama lain yang dikenal sebagai gemstone digolongkan sebagai batu setengah mulia yang mempunyai kekerasan kurang dari tujuh mosh. Tentunya pengertian yang dimaksud skala mosh adalah ukuran kekerasan yang menentukan pengkristalan sebagai salah satu batu mulia. Seperti yang diketahui batu mulia paling populer seperti Ruby, Saphire, Zamrud, Kalimaya, Kecubung, Berlian dan Topaz.

Sejarah dari batu akik sendiri terjadi setelah prosedur geologi seperti mana batuan lainnya, seperti contohnya saja seperti pemisahan dalam magma, metamorfosa atau sedimentasi. Beda dengan intan, batu akik mulai terwujud saat larutan hidrotermal yang menjadi dingin karena dekatnya dengan dataran. Batu akik juga terbentuk dari tambalan batuan, sehingga mengisi fosil kaya sampai membatu dan terbentuk dari larutan hidrotermal yang tidak terlalu jauh dari permukaan. Dengan temperatur mencapai 300 derajat celsius. Batu akik sendiri mudah didapatkan di gunung dalam tanah, sungai sampai dengan pesisir pantai.

Aneka batu akik Indonesia yang terkenal seperti,

Batu akik Rafflesia

Prediksi Togel, Cerita Misteri, tafsir mimpi, ulasan pusaka, misteri, angker, Supranatural, Terawang angka

Batu akik sisik naga Enrekang

Prediksi Togel, Cerita Misteri, tafsir mimpi, ulasan pusaka, misteri, angker, Supranatural, Terawang angka

Batu akik Cincin Bungur/ Anggur Api

Prediksi Togel, Cerita Misteri, tafsir mimpi, ulasan pusaka, misteri, angker, Supranatural, Terawang angka

Batu akik Pirus Besi

Prediksi Togel, Cerita Misteri, tafsir mimpi, ulasan pusaka, misteri, angker, Supranatural, Terawang angka

Batu akik Kalimaya

Prediksi Togel, Cerita Misteri, tafsir mimpi, ulasan pusaka, misteri, angker, Supranatural, Terawang angka

Misteri Keberadaan Candi Ken Arok

Candi pemujaan Ken Arok disebut sebut saat berada di daerah Kagenengan, tapi lokasinya masih serupa teka-teki yang sampai saat ini belum mendapat kebenarannya. Teori terbaru juga menyebutkan candi ini bisa saja terletak di atas puncak Gunung Katu. Wahhh Mana yang benar ya??

Baik lah Akan Kita telusuri ,sejarah Singhasari dan Majapahit, raja yang mangkat biasanya didarmakan dalam bentuk arca dewa. Mereka akan terus dikenang dengan dibuatkan sebuah candi pemujaan. Berdasarkan Nagarakretagama, jumlah candi yang difungsikan sebagai pendarmaan arwah raja mencapai 27 pada tahun 1365. Dari jumlah itu tidak semua masih berdiri utuh. Di antaranya candi di Kagenengan yang disebut sebagai pendarmaan Rangga Rajasa, gelar Ken Arok.

Pada pupuh 40 naskah Nagarakretagama tertulis, seorang pendeta Budha di Bureng diminta berkisah oleh penulis naskah. Sang penulis, Mpu Prapanca, ketika itu bersama rombongan Hayam Wuruk hanya singgah dalam perjalanan menuju Singhasari. Pendeta Budha itu menceritakan bahwa pada tahun 1104 saka terdapat seorang raja Perwira Yuda Putera Girinata. Dia lahir tanpa ibu dan dihormati seluruh orang. Raja itu bernama Rangga Rajasa. Bagian itu juga menceritakan bagaimana Rangga Rajasa akhirnya mengalahkan Raja Kediri, Kertajaya. Dia diakui sebagai cikal bakal para raja agung yang akan memerintah Jawa.

“Makin bertambah besar kuasa dan megah putera sang Girinata. Terjamin keselamatan Pulau Jawa selama menyembah kakinya. Tahun Saka muka lautan Rudra (1149) beliau kembali ke Siwapada. Dicandikan di Kagenengan bagai Siwa, di Usaha bagai Budha,” kutip Slamet Muljana dalam Tafsir Sejarah Nagarakretagama.

Arkeolog Universitas Negeri Malang, Dwi Cahyono mengatakan, sumber yang menyebut keberadaan candi di Kagenengan tak hanya Nagarakretagama. Pada 1998, tiga lempeng Prasasti Mula-Malurung ditemukan di Kediri. Delapan lempeng prasasti ini lebih dulu ditemukan di Kediri pada 1975 lalu diserahkan ke Museum Nasional Jakarta.

“Tentang pendarmaan Angrok, info awal Kagenengan dari Nagarakretagama. Dikira hanya di situ, sumber lain tidak ada. Ternyata, yang justru menarik disebut juga dalam Mula-Malurung, yang kami temukan juga menyebutkan Kagenengan,” ungkap Dwi kepada Historia.

Setelah bukti diperkuat, menurut Dwi masih ada polemik yang belum terpecahkan, yaitu di mana Kagenengan berada. Namun, sejauh ini dia berani memastikan, lokasi Kagenengan berada di wilayah Malang Raya. Hal ini dikaitkan dengan rincian catatan perjalanan Hayam Wuruk dalam Nagarakretagama. Dalam rincian itu, kunjungan Sang Raja Majapahit ke Kagenengan masih dalam periode yang sama dengan perjalanannya menziarahi candi-candi leluhurnya yang lain.

Dwi menyoroti, rombongan Hayam Wuruk saat itu mengkhususkan hari untuk berkunjung ke Kagenengan. Dia tidak mengunjunginya langsung, tetapi setelah mendatangi Candi Kidal dan Candi Jajago. Dalam Negarakretagama, khususnya pupuh 37, menyebut kunjungan ke kedua candi itu dilakukan dalam satu hari. Pagi hari ke Candi Kidal, dan sore hari ke Candi Jajago.

“Kalau Kidal dan Jajago realitas geografisnya ada di Kecamatan Tumpang, Malang Timur. Artinya, pasti Kagenengan tidak ada di Malang Timur, berarti ada jalur berbeda,” jelas Dwi.

Dwi mencoret kemungkinan Kagenengan berada di Malang Timur, juga tidak mungkin di Malang bagian utara. “Karena Hayam Wuruk malah menginap di Puri Singhasari yang ada di kawasan utara Malang baru melanjutkan perjalanan,” lanjut Dwi.

Artinya, Kagenengan akan masuk akal jika dicari di wilayah Malang bagian selatan, di mana terdapat beberapa tempat yang memiliki kemiripan nama dengan Kagenengan. Menurut Dwi, berdasarkan teori yang dinyatakan arkeolog Inggris Nigel Bullough, Kagenengan merujuk pada Dusun Genengan, Desa Parangargi, Kecamatan Wagir. Selain itu, ada juga Desa Genengan di Kecamatan Pakisaji; dan Dusun Genengan di Desa Girimoyo, Kecamatan Karangploso.

Dwi telah memeriksa lokasi itu satu persatu. Di Desa Genengan, Pakisaji misalnya, terdapat yoni tanpa lingga di salah satu punden desa. Pada punden lainnya di desa yang sama, terdapat arca Durga. “Tapi kalau melihat ukuran yoni dan Durga terbayang candinya tidak begitu besar. Sejauh ini di lokasi temuan tidak didapati temuan lain yang signifikan, seperti temuan runtuhan yang menggunung,” jelasnya.

Kemungkinan candi di Kagenengan ada di Pakisaji jadi diragukan. Pasalnya, berdasarkan Nagarakretagama, candi di Kagenengan dideskripsikan sebagai candi megah dan indah. Pintu masuk candi lebar dan tinggi. Di dalamnya, terdapat halaman dengan rumah berderet di tepinya. Di tengahnya terdapat bangunan serupa menara yang tinggi dan indah seperti Gunung Meru. Ken Arok yang dipuja sebagai Siwa membuat candi itu memiliki arca Siwa di dalamnya.

Adapun Dusun Genengan di Wagir, menurut Dwi, terdapat runtuhan bangunan yang terbuat dari bata. Dusun ini terletak di lereng Gunung Katu. Namun, lagi-lagi menurutnya benda arkeologis yang ditemukan di sana tidak signifikan. Bahkan arca yang menunjukkan sekte Siwa pun tidak ditemukan. “Begitu juga temuan arkelogis di Karangploso, Desa Girimoyo, Dusun Genengan,” lanjut dia.

Gunung Katu

Alternatif lainnya, kata Dwi, Kagenengan bisa jadi mengarah pada topografi. Berdasarkan arti “geneng”, nama ini merujuk pada tanah yang tinggi, seperti gunung atau bukit. Dengan pengertian itu, dia mengemukakan teori Kagenengan yang dimaksud dalam sumber-sumber sejarah berada di puncak Gunung Katu.

“Penyebutan di Pararton itu ada namanya Rabut Katu, dulu di sana banyak orang menangkap burung. Sampai sekarang juga masih banyak yang menangkap burung. Di namakan Katu itu karena ada pohon katu yang besar sekali tempat rumah burung,” ungkapnya.

Kemungkinan pohon katu yang tumbuh di puncak Gunung Katu adalah tanaman endemik. Bisa jadi dulunya banyak pohon katu tumbuh di sana hingga penamaan Gunung Katu masih terus dipakai. “Sayangnya pohon itu malah ditebang,” ujarnya kesal.

Lebih lanjut, Dwi menerangkan, di masa lalu gunung ini dianggap suci. Gunung Katu merupakan anak Gunung Kawi yang dianggap sebagai pecahan Gunung Meru. Untuk tingginya, Gunung Katu sebenarnya lebih pantas disebut bukit. Namun, penampakannya begitu menjulang di wilayah itu.

Adanya penemuan arkeologis di permukaan puncak gunung itu juga memperkuat teorinya. Pada puncak gunung terdapat arca Nandi yang berbentuk lembu sebagai kendaraan (wahana) Siwa dalam mitologi Hindu. “Disebutnya reco banteng,” ucap Dwi.

Tidak hanya itu, di sana pun terdapat pedistal arca yang berukuran besar. Namun, arca yang seharusnya ada di atasnya tidak ditemukan. “Arcanya sudah hilang, apakah itu terguling ke bawah atau dicuri tidak tahu, karena arca Nandi-nya juga ditemukan agak ke arah lembah,” kata Dwi.

Dwi juga mengidentifikasi adanya fragmen arca. Sayangnya, dia pun tidak bisa mendeskripsikan siapa tokohnya. Apa yang tersisa dari arca itu adalah bagian kakinya saja.

Keistimewaan puncak Gunung Katu juga ditunjukkan dengan adanya temuan di beberapa titik di lerengnya. Dwi memaparkan ada dua titik dengan temuan yang cukup signifikan sejauh ini, selain di puncak. Menariknya, orientasi arah hadap temuan-temuan itu selalu mengarah ke puncak.

“Dugaan candi di Kagenengan ini dari material bata. Bata banyak ditemukan, dan memang tidak memungkinkan untuk batu, jadi persoalan sendiri untuk bawa batu dari bawah. Medannya sangat terjal,” terangnya.

Runtuhan bata yang dia lihat di Gunung Katu itu bisa ditemukan hingga bagian lereng gunung. Menyadari ini, dia memperkirakan, situs di lokasi itu bisa jadi berupa kompleks bangunan candi. Namun, kondisi geografisnya membuat peninggalan ini menjadi tidak utuh kembali. Berbeda dengan candi Jajago dan Candi Kidal yang meski runtuh saat ditemukan, keduanya berhasil dipugar. Candi-candi itu diuntungkan karena berada di lokasi yang rata.

“(Situs di Gunung Katu, red) ini agak beda, pas di puncak, Malang itu rawan gempa juga, ketika gempa sepertinya membuatnya betul-betul roboh, terguling ke tebing. Lereng timur itu terjal, kalau terguling ke sini habis masuk lembah,” katanya.

Dwi berteori, di masa lalu Gunung Katu pun termasuk dalam wilayah Kagenengan. Ini berdasarkan kesamaan nama “Genengan” di tiga tempat yang berbeda kecamatan. Padahal sebenarnya radius di antara ketiga tempat itu tidak jauh. Pun ketiganya berada di sekitar lereng Gunung Katu.

“Dulunya mungkin wilayah Kagenengan ini mencakup wilayah-wilayah di sekitar Gunung Katu dan Gunung Katunya, jadi lebih luas lagi, setelah sekian lama akhirnya berkembang dan muncul banyak desa,” jelasnya.

Ditambah lagi, menurut Dwi, pendiri Dinasti Rajasa itu memiliki kedekatan memori dengan wilayah selatan Malang. Sebelum Singhasari menjadi pusat pemerintahan, Ken Arok sempat berpetualang ke wilayah selatan. Dia belajar kepada seorang rohaniawan Janggan di Mandala Sagenggeng. Nama Sangenggeng ini sekarang menjadi nama sebuah desa di Kecamatan Pakisaji.

“Jadi secara memori, dia punya kenangan dengan Sagenggeng dan sekitarnya,” tegas Dwi.

Dengan dugaan tersebut Dwi merasa yakin menunjuk atas puncak Gunung Katu sebagai lokasi tempat di mana berdirinya candi pendarmaan Ken Arok. sehingga, dia pun berharap supaya ada penelitian yang khusus membedah Gunung Katu. Dia meyesalkan di lokasi yang begitu sangat potensial itu sampai detik ini belum pernah ada dilakukan penggalian.

“Kagenengan ini sangat istimewa. Dalam Nagarakretagama saja disebutkan panjang lebar. Ini wajar sebab titik pangkal munculnya kerajaan Singhasari dan Majapahit,” ucap Dwi.