Kisah Nyata! Cerita Misteri Lemah Layat Bagian Ke 2

Cerita Misteri Lemah Layat Bagian Ke 2, Dijamin Lebih Menegangkan

Cerita Misteri Lemah Layat. “kancamu kandanono, nang kene, ilmune gak onok apa-apane, mene nek wes sadar, gowoen nang mbah Pornomo.”
(temanmu kasih tahu, disini, ilmunya gak ada apa-apa nya, kalau sudah sadar, bawa dia ke mbah Pornomo) 
Ruslan mengangguk, “nggih mbah” sahutnya, “eh, nggih mbak” Ruslan mengkoreksi ucapannya, kini dirinya menatap rambut yang masih ada ditangan Lastri, dirinya pergi, menjauh dengan kaki pincang,
Ruslan menggendong Agus kembali ke rumah. Entah apa yang terjadi, Ruslan masih tidak mengerti  ditemani Koco, Agus dibawa ke rumah lelaki tua tersebut, dirin6ya sudah sadar, namun, dirinya seperti orang ling lung, wajahnya pucat, bahkan, Rusalan sudah mengajaknya bicara sejak tadi pagi namun, Agus hanya diam.
Mbah Pornomo hanya duduk memandangnya, dirinya menunjukkan kain kafan putih,  mbah Por, membuka kain kafan putih tersebut, didalamnya, ada segumpal rambut, Ruslan langsung tahu, rambut tersebut adalah rambut Agus,
“Nekat!!” ucap mbah Por, tanpa mengatakan apa-apa lagi, mbah Por langsung menghantam kepala Agus, sebelum menekan hidungnya, tiba-tiba darah hitam keluar darisana,  mbah Por langsung menyesap hidung Agus, Ruslan dan Koco hanya bisa melihat kejadian tersebut, mereka tidak mau berkomentar, setelah selesai, mbah Por mengambil batok kelapa, memuntahkan isi mulutnya,
Disana, ditengah-tengah genangan darah hitam kental, ada segumpal daging yang sudah busuk mbah Por membuang ludah sebelum membersihkan mulutnya dengan sapu tangan, dirinya meletakkan rambut hitam dan kain kafan di batok kelapa, membakarnya, dan tercium aroma yang sangat wangi, wangi sekali sampai Ruslan dan Koco bingung mbah Por kemudian meminumkan air putih, Agus sadar.

“Piye” tanya mbah Por, “Wes ngerti sopo sing nduwe lemah kui” (kamu sudah tahu siapa yang punya tanah tersebut)

Agus hanya diam, keringatnya mengalir deras, bibirnya mulai gemetar,

“Sudah lihat juga, Gundik’colo yang lain?” mbah Por masih bertanya,

Agus mengangguk  mbah Por berdiri, dirinya diam, kemudian mendekati Agus lagi, “boleh aku melihat apa yang kamu lihat”

Agus mengangguk, Ruslan dan Koco masih diam, dirinya melihat mbah Por, mencium tangan Agus seakan dirinya meminta restu, suasana menjadi hening, Cerita Misteri Lemah Layat sangat hening sekali, Ruslan dan Koco, mulai merinding  seperti tersedak, mbah Por melompat mundur, dibibirnya tiba-tiba keluar darah, dirinya merangkak, seolah mau memuntahkan sesuatu, Agus dan yang lain sontak menolong mbah Por, memijat lehernya
Mbah Por terus memukul dadanya, dan keluarlah gumpalan daging yang sama seperti Agus, daging colo’ berlumuran darah

“Artine opo toh mbah?” tanya Ruslan,

“Sing nduwe lemah, kate teko, njupuk opo sing kudu di jupuk” (yang punya tanah sudah mau datang, mengambil apa yang harus dia ambil)

“Nopo niku mbah?” (apa itu mbah)

Mbah Por tampak berpikir, “Lastri”  “co” kata mbah Pur, “awakmu eroh omahe pak RT, budalo mrono, ngomong’o, Balasedo’ne teko” (Kamu tahu rumah pak RT kan, bilang sama dia, Balaseda’ datang)

Ruslan melihat wajah mbah Por, dirinya tidak pernah segelisah ini, sedari tadi, mbah Por hanya mengelus janggutnya 

mbah Por melihat keluar rumah, lalu menutup pintu rumahnya, “melok aku” (ikut saya)

Ruslan dan Agus berdiri, dirinya berjalan di belakang mbah Por yang melangkah masuk ke salah satu kamar, di kamar itu, Ruslan banyak melihat benda-benda yang tidak asing lagi, bawang putih di pasak, cabai di ikat dengan benang, sampai kembang bertebaran di meja, mbah Por langsung mempersilahkan mereka untuk duduk, saat mereka duduk, tiba-tiba mbah Por memukul-mukul kepalanya, seperti orang kebingungan, bahkan, dirinya menghantam rahangnya, dan secara tiba-tiba, menarik paksa giginya..

entah gigi mana yang dia ambil, namun, Ruslan dan Agus merasa ngilu melihat itu di depannya, darah masih mengalir dari bibir mbah Por, namun, bukannya merasa kesakitan, mbah Por seperti tertawa terbahak-bahak melihat giginya sudah tanggal

“Edan” bisik Ruslan, yang ditanggapi agus, dirinya setuju  berpikir bahwa semua itu selesai, adalah kesalahan yang besar, mbah Por lagi-lagi, menekan gigi bawah yang berada tepat di tengah dengan kedua tangannya, matanya tengah menatap Ruslan, dengan nafas tersenggal-senggal, mbah Por menarik paksa, hingga darah mengalir deras dari bibirnya.

Menyaksikan hal gila seperti itu, membuat Agus dan Ruslan tidak kuat, dirinya mendekati mbah Por, namun, mbah Por tak menghiraukan mereka, dirinya seperti orang yang sudah kesetanan, dan benar saja, giginya berjatuhan dengan luka robek yang membuat Ruslan memalingkan wajahnya.

Mbah Por tertawa dengan serampangan, mbah Por mengumpulkan gigi yang berjatuhan tersebut, membungkusnya dengan daun pepaya yang berada di atas meja, cipratan darah masih dapat dilihat oleh Ruslan dan Agus, entah apa yang mau dirinya lakukan, Ruslan tidak mengerti, karena setelahnya, mbah Por menelan daun pepaya itu bulat-bulat.

“ben, nek ajor mesisan ajor” (biar saja, hancur sekalian hancur)

PASARAN

PREDIKSI MBAH JITU TOP 2D

KLIK

PASARAN SYDNEY

90 97 94 93 47 40 43 30 37 34

SELENGKAPNYA

PASARAN COLOMBO

04 03 06 09 34 36 39 94 93 96

SELENGKAPNYA

PASARAN SCOTLAND

60 69 63 65 39 30 35 50 59 50

SELENGKAPNYA

PASARAN SINGAPORE

37 31 39 36 17 19 16 97 91 96

SELENGKAPNYA

PASARAN JAMAICA

01 04 06 07 61 64 67 71 74 76

SELENGKAPNYA

PASARAN UGANDA

23 21 29 27 73 71 79 93 91 97

SELENGKAPNYA

PASARAN HONGKONG

10 12 19 16 90 96 92 60 62 69

SELENGKAPNYA

PASARAN KENYA

24 26 27 27 64 62 67 74 72 76

SELENGKAPNYA

PASARAN SLOVAKIA

36 39 38 37 86 89 87 76 79 78

SELENGKAPNYA

Agus dan Ruslan tidak mengerti maksud ucapannya, karena setelahnya, mbah Por mengambil sebilah keris yang di gantung di atas tembok kayu, menyampirkannya di pinggul, sebelum pergi, mbah Por berpesan agar mereka tetap berada di rumah ini.

“Tengah malam saya kembali, saat itu juga, kalian akan saya bawa masuk ke rumah Lastri, agar kalian bisa tahu apa yang ada di dalam sana, dan” mbah Por tampak memandang Agus, “dia datang malam ini nak”Agus pucat, Ruslan bisa melihatnya.

“Onok opo seh asline gus” “bar koen ambek aku wes duluran mbok diceritani, asline opo sing mok wedeni” (ada apa sih sebenarnya gus, kamu sama aku udah saudaraan harusnya kamu cerita sebenarnya apa yang bikin kamu sangat takutan)

“Nang jero omah iku Rus, onok, onok” (di dalam rumah itu ada)

Agus seperti tidak bisa mengatakannya.

“Jancok onok opo seh?” (sialan ada apa sih sebenarnya)

“Nang jero omah iku onok” (di dalam rumah itu ada)

“Ranggon”

Ruslan yang mendengarnya hanya melotot pada Agus, “taek!!” (Tai) kata Ruslan, “pantes ae sing jogo model ngunu” 

“Lastri sing ndudui awakmu opo piye” (Lastri yang ngasih tahu kamu apa gimana) “modelan Ranggon, gak bakal di duduno ambek sing jogo, nyowo gus, taruhane, opo awakmu ndang sing” (model barang seperti itu tidak boleh di perlihatkan sama yang jaga, nyawa itu Gus taruhanya, apa jangan-jangan).

“Aku gak sengojo ndelok Rus” (aku gak sengaja lihat Rus)

Ruslan hanya duduk pasrah, matanya melihat keatas, “kadang aku mikir, awakmu iku pinter wes tak anggep masku dewe, eh, kadang koen goblok tenan koyok wergol, asu!!” (kadang aku mikir kamu itu pinter, sampai tak anggap abang sendiri, tapi kadang kamu bodohnya gak ketulungan, mirip Wergol, anj*ng!!) tidak beberapa lama, terdengar suara ketukan keras sekali, selain keras, suara ketukan itu tanpa jedah, membuat Agus dan Ruslan melihat ke pintu.

“Sopo iku gus?” (siapa itu gus)

Agus dan Ruslan mendekat, ketukan itu tidak berhenti-henti sebelum, “Rus, iki aku Koco!!”

Seketika Ruslan langsung membukanya, “Edan!! suwene mbukake!!” (gila!! lama sekali bukanya) sahut Koco emosi,

“Koen mbalik to” (kamu balik ya)

Belum Koco cerita, Ruslan dan Agus melihat apa yang ada di depan pintu. disana, berdiri pocong tepat di depan rumah, dirinya melihat Ruslan dan Agus, dengan tenang, agus menutup pintu, perlahan, dan sosok itu tidak terlihat lagi.

Koco tidak tahu, namun Ruslan, merasa ada yang salah sama desa ini. Tepatnya, saat ini, Koco duduk sembari merokok, “heran aku Rus, mari tekan omahe pak RT, gak koro-koro, kabeh wong koyok sepakat nutup omah, gak onok omah mbukak lawang, aku muleh nang Mes ae sampek gak di bukakno ambek arek-arek” (heran aku Rus, setelah dari rumah pak RT, semua rumah seakan sepakat-

gak ada yang buka pintu, bahkan waktu aku balik ke mes, pintunya gak di buka sama anak-anak, makanya aku langsung kesini)

Agus dan Ruslan tidak menjawab.

“Opo onok hubungane ambek iku mau yo” (apa ada hubungannya sama itu ya)

“Onok maneh co” (ada lagi gak co) tanya Ruslan,

“Rokok” jawab Koco,

“Gak goblok, onok maneh ta sing aneh” (gak bodoh, ada lagi yang aneh)

Koco heran, ini pertamakalinya Ruslan menolak rokok dan Agus, malah diem aja,

“Ya itu Rus, di depan pintu, aku nemu piring isi bubur, tapi cuma digeletakin aja, gak ada yang makan”

“Mas bukak mas” tiba-tiba terdengar suara bersahutan, Ruslan dan Agus pura-pura tidak mendengarnya, berbeda dengan Koco, dirinya lantas berdiri, “ada orang kayanya di luar”

“Ojok di buka Co, wes talah lungguh ae” (jangan di buka co, sudah duduk aja)

Koco melihat Agus dan Ruslan heran,

“Halah, koen iku, yok opo nek wong sing nasib’e koyo aku mau” (halah, kalian itu, gimana kalau orang ini yang nasibnya kaya aku tadi)

Koco melewati Agus dan Ruslan, suara-suara itu terdengar semakin lama semakin bising, “Mas bukak mas” “Mas bukak mas”

Ruslan dan Agus hanya berdiri, tepat saat Koco membuka pintu, dirinya tidak menemukan siapapun disana, Ruslan dan Agus pun merasa janggal, dirinya tidak melihat apapun di luar pintu,

Koco merasa heran, lantas menatap dua kawannnya, mereka saling memandang satu sama lain, sebelum, terdengar suara barang jatuh dari atas.  Koco berbalik, dirinya mendapati karung putih, dengan perlahan Koco mendekat, lantas melihat ke atas genteng, namun, dirinya tidak menemukan apapun,
Koco menatap karung putih itu, sebelum dirinya berbalik melihat wajahnya hancur berantakan, tanpa pikir panjang, Koco langsung masuk menutup pintu.

“Asu!!” kata Koco menatap Ruslan dan Agus, “Pocongan gus, pocongan Rus!!”

Agus dan Ruslan melihat Koco, lantas mereka kemudian bicara bersamaan, “Rokok’e”

Malam itu di lewati tiga orang itu dengan cerita tentang penghuni tanah layat tersebut, disini, Koco sudah mengerti semuanya 

hampir semalam suntuk, Ruslan, Koco dan Agus menghisap rokok, sementara di luar terus terdengar suara itu yang saling bersahutan, “Bukak mas, bukak”

“Jancok, menengo” kata Ruslan, menggedor-gedor tembok kayu itu, setelah berteriak, tiba-tiba hening, suara itu menghilang, Ruslan pucat pintu terbuka, semua mata langsung memandang ke pintu, bersamaan itu, mbah Por masuk, melihat ke tiga orang yang tengah merokok di ujung ruangan,

Baju mbah Por, sudah di penuhi oleh darah, wajahnya muram berantakan, lantas ia menatap Agus, “Ayok melok, ndang urusane mari” (ayo ikut)

“Agus tok mbah” (cuma Agus mbah) tanya Ruslan, Koco juga merasa harus ikut, lantas kemudian berdiri, mbah Por menatap Koco dan Ruslan bergantian, “tapi kalau kalian ikut gak papa, tapi nyawa kalian tidak bisa aku jamin ya”

Koco duduk lagi,  Ruslan melangkah, mengikuti Agus dan mbah Por, begitu keluar dari pintu, Ruslan baru sadar, suasana desa ini benar-benar lain, tak seorangpun terlihat di sepanjang jalanan desa, bahkan, binatang pun tiba-tiba lenyap semua,

Tak ada makhluk apapun yang hidup kecuali mereka, pintu di tutup

“Itu darah apa mbah?” tanya Agus,

“Halah, awakmu wes eroh iki getih’e opo” (halah, sebenarnya kamu tahu darah apa ini)

Ruslan menatap kesana kemari, dirinya tidak melihat satupun bentuk mengerikan dari wujud putih terbungkus itu, mbah Por menatap Ruslan, “ra usah wedi” melewati kebun Jati, mbah Por mendekati rumah Lastri, disana, sudah ramai layaknya pasar malam, hanya saja, yang berdiri hanya makhluk putih terbungkus itu (pocong), Ruslan melewatinya, dirinya tidak mau melihat wajahnya,

Begitu sampai di ambang pintu, Agus dan Ruslan melihat mbak Lastri duduk 

anehnya, mbak Lastri hanya diam, melamun.

Ruslan dan Agus berhenti tepat di depannya, Lastri hanya duduk dengan kain yang menutupi kakinya.

Mbah Por tiba-tiba memanggil, “mrene gus, iki kan sing kepingin mok delok iku” (kesini gus, ini kan yang mau kau lihat) 

Agus yang pertama masuk ke ruangan itu, sementara Ruslan masih melihat mbak Lastri, dirinya masih diam, duduk, sendirian di ruang tamu, aneh

Ruslan kemudian mendekat, dirinya langsung mencium bau amis nanah, dalam batinnya ia mengatakannya, “bau Ranggon” sembari menutupi hidungnya saat Ruslan melihatnya, tubuhnya menggelinjang, dirinya tidak menyangka apa yang Agus katakan itu benar

Hal seperti ini masih ada, Ruslan melihat, seseorang tengah terlentang di atas pasak kayu, dengan kulit yang dipenuhi borok, tubuhnya merah, tepat di bawahnya ada ember penuh dengan darah  darah itu keluar dari anusnya, Ruslan dan Agus saling menatap satu sama lain,

“Ranggon” kata mbah Por, “sudah lama ada disini, kalau belum di ijinkan mati sama yang punya, dia gak akan bisa mati”Ruslan membuang muka, dirinya tidak sanggup melihat darah yang terus keluar dari anusnya 

Ruslan mendekatinya perlahan, dirinya melihat kulitnya benar-benar tidak rata,

“Setiap ada borok baru yang muncul, dagingnya harus di iris, karena itulah, di beberapa bagian tubuhnya, kamu bisa lihat tulang belulangnya”

Ruslan masih tidak percaya, ini seperti mendengar dongeng kakek tiba-tiba Lastri muncul, dirinya melihat semua orang di kamar.

“Padu wes tekan mas” (dia sudah datang mas)
Mbah Por tampak tegang Cerita Misteri Lemah Layat, namun, Agus dan juga Ruslan melihat kaki Lastri, disana, daging di kakinya banyak yang sudah teriris, seketika Agus tahu, siapa sih Ranggon ini.

Cerita Misteri Lemah Layat, Dijamin Bikin Tegang

Cerita Misteri Lemah Layat, Sebuah Peristiwa Kelam Dan Hitammnya Dunia

Cerita Misteri Lemah Layat. Riuh. Suara motor dan angkot bersahut-sahutan, tidak ada yang mau mengalah, dari kursi penumpang angkot biru laut, dua lelaki paruh baya menatap jalanan, ekspresi wajah mereka khawatir. “jancuk” sahut salah seorang dari mereka, “isok telat iki” (bisa terlambat ini)

Lelaki yang satunya menoleh, dirinya mengkerutkan dahi, menatap kawannya, “mbok pikir koen tok sing gopoh” (kamu kira, cuma kamu seorang yang khawatir)

“Halah” “wes mlayu ae, gak nutut iki nek nuruti ngene iki” (lari saja yuk, gak sempat ini kalau kita nungguin ini)

Mereka sepakat,

Lantas, mereka langsung melompat dari dalam angkot, mulai berlari menuju jalanan stasiunt, berjibaku dengan orang lalu lalang, mereka abaikan keringat didahi, menembus lautan orang yang sangat sibuk dengan urusan mereka masing-masing, satu yang mereka harus tuju, kereta yang akan membawa mereka pergi.

“Goblok koen Gus, mene nek kate onok urusan, ojok tambah ngejak maen gaplek” (bodoh kamu gus, kalau besok ada urusan seharusnya gak kamu ajak aku maen gaplek)

Agus, lelaki gondrong dengan kumis tipis itu tertawa sembari menghela nafas panjang, dirinya merasa geli atas apa yang terjadi

“Halah. nyocot! sing penting kan menang, oleh duwek akeh” (bacot, yang penting kemarin menang kan, dapat duit banyak) ucap Agus, gemas, dirinya jitak kepala Ruslan, kawan yang akan menemaninya

Sebelumnya, Agus dan Ruslan setuju, daripada nganggur, lebih baik mereka ikut kawan, meski hanya sebagai kuli bantuan, tapi setidaknya, dari sana mungkin hidup mereka akan mulai berubah, tidak lagi harus mendengar kiri kanan tetangga yang mengecap mereka sebagai pengangguran yang gak punya masa depan. Kereta melaju, jauh. Meninggalkan kota kelahiran Agus, disini, kehidupan baru bagi Agus dan Ruslan, akan dimulai.

Agus yang pertama turun, diikuti Ruslan, mereka melihat sekeliling, harusnya, kawan mereka akan menjemput di stasiun ini, namun, dirinya hanya melihat orang lalu lalang, tidak ada tanda kawan mereka sama sekali.

“Asu arek iki Gus, dibelani adoh-adoh gak disusul” (anj*ng, anak ini, dibelain jauh2 eh, gak dijemput)

Agus mengangguk setuju, lantas, dirinya duduk, mengeluarkan sebatang rokok yang dirinya simpan di kantung celana, sial. gumamnya, hidupnya sulit, sebatang rokok yang bengkok pun, terpaksa dirinya hisap, kini, jadi kuli terdengar masuk akal baginya, seenggaknya, dirinya bisa makan nasi lagi

Ruslan hanya melihat orang-orang, lebih tepatnya, melihat perempuan-perempuan yang cantik yang lalu lalang, tidak ada rokok untuknya, jadi, daripada melamun, Ruslan tahu bagaimana memaksimalkan kemampuannya untuk menikmati pemandangan

Tak beberapa lama, terdengar suara teriakan familiar, ia datang

“Ayok”

Agus dan Ruslan mengikuti. “Numpak opo iki” (naik apa kita) ucap Ruslan,

“Numpak bis lah, iki jek adoh ambek nggone” (naik bus lah, ini tempatnya masih jauh soalnya)

Agus tidak banyak komentar, dirinya sudah diberitahu, kerjaan mereka tidak jauh dari kuli untuk bendungan, disepanjang perjalanan, Agus hanya melihat jalanan, mereka menaiki Bus antar kota, menjelaskan setidaknya kemana mereka akan pergi.

Koco, kawan yang mereka kenal dari warung kopi memang tidak banyak memberitahu soal pekerjaan ini, kecuali mereka butuh tenaga tambahan, bahkan, Koco tidak memberitahu, bahwa nanti, Agus dan Ruslan, tidak akan tinggal di Mes tempat para kuli resmi tinggal, Agus dan Ruslan, hanya tahu, bahwa ada rumah yang siap menampung mereka, selama mereka bekerja di tempat ini.

“Gratislah” kata Koco, “wes kere mosok jek dijaluki duwik, wes santai ae” (gratislah, masa kalian sudah susah, masih dimintai duit untuk tinggal, santai saja)

Ruslan hanya menatap Agus, bila ada yang gak beres dari suatu pekerjaan, adalah sesuatu yang berbau “gratis”

Agus nyengir, buang air saja bayar, ini, tinggal di rumah orang masa gratis. kalau gak rumah setan, ya rumah orang gak waras. tapi dilain hal, Koco meyakinkan Agus, bahwa rumah itu gratis karena sudah dibayar setahun penuh, dan pekerja sebelumnya sudah pamit pulang.

“Pamit pulang kenapa mas?” tanya Agus.

“Gak eroh” (gak tau) kata Koco, “isterine ngelahirno, jarene” (isterinya melahirkan, katanya) Koco mengangkat bahu, tanpa sadar, Bus memasuki daerah yang semakin malam, semakin sepi, sunyi, Agus masih tidak yakin, “sing liane” (yang lainnya?)

“Muleh pisan” (pulang juga) “gak kerasan” tutur Koco, dan kemudian, dirinya berdiri. “wes totok” (sudah sampai)

Ruslan dan Agus, mengangkat tasnya, mengikuti Koco yang sudah melangkah turun, pertama kali melihat Desa itu, Agus hanya melihat sebuah desa biasa saja, tidak ada yang aneh, kecuali, Koco.

Koco menunjuk sesuatu, sebuah jalanan lurus, setelah memasuki desa, Koco mengatakannya

“Omah sing bakal mok nggoni, lurus ae yo, wes ra usah menggak menggok, gampang kok ancer-ancere, yo” (rumah yang nanti akan kalian tinggali, lurus saja ya, gak perlu belak-belok, mudah kok posisinya) sahut Koco, sebelum menyalakan sebatang rokok, melipir pergi ke sudut desa lain, Agus dan Ruslan hanya saling menatap bingung, sebelum, bersama, mereka pergi.

Agus menelusuri jalan setapak, gelap, tentu saja. Ruslan tetap mengikuti dibelakang, tidak ada bedanya sama jalanan di desa Agus, hanya saja, mungkin karena tempat asing, suasana tersebut, membuat mereka merinding. “Koco Asu” umpat Ruslan, Agus setuju.

Saat mereka sampai diujung jalan, Agus dan Ruslan tidak lagi melihat ada jalan setapak, kecuali, rumput setinggi mata kaki, didepannya, ada kebun pohon jati yang menjulang tinggi, Agus dan Ruslan melihat disana-sini, tidak ada jalan, lelah bila harus kembali, Agus menembus masuk ke kebun jati seorang diri. Tak beberapa lama, Ruslan mengikuti.

Dibawah pohon jati, Agus menahan diri, sejak kecil, dirinya memang biasa dengan tempat seperti ini, namun Ruslan berhati-hati, pekerjaan yang sempat membuatnya bersemangat tiba-tiba seperti mati rasa, perasaannya tidak enak, tapi selama ada Agus, Ruslan merasa semua akan baik-baik saja.

Baik-baik saja, sebelum, Ruslan melihat tempat tinggal mereka, sebuah rumah yang ada dibalik kebun jati. Rumah kayu, berdiri sendiri, dengan petromaks yang sudah menyala, pintunya terbuka, Agus, mendekatinya.

“Gus, Rumah setan pasti gus” ucap Ruslan,

“Iya, rumah siapa lagi yang kaya gini kalau gak rumah setan” Agus menimpali, tapi dirinya, tetap mendekati, di pintu rumah, tercium aroma makanan, Ruslan semakin yakin, sampai, dari dalam, muncul si pemilik rumah

“Wes tekan ya, monggo” (sudah datang ya, silahkan), mata Agus bertemu dengan mata seorang wanita, usianya mungkin lebih tua dari pada Agus, sosoknya ramah, dirinya mengangguk saat Agus berdiri di depan pintu, dirinya melewati Agus, Ruslan melangkah masuk, mengamati makanan yang tersaji di meja, namun, Agus mengatakannya secara tiba-tiba.

“Saya mencium lemah layat dari makanan itu”

Si wanita menoleh, menatap Agus, dirinya tersenyum, mengangguk, sebelum pergi, Agus baru tahu, ada Rumah lebih besar, tidak jauh dari tempat dirinya berdiri.

Agus menutup pintu.

“Gak usah dimakan Rus, biarin aja” ucap Agus, dirinya memandangi rumah besar disebrang dari jendela, Ruslan mendekati. “prosoko gak onok omah iku loh gus mau” (perasaanku tadi, gak ada rumah loh disitu)

“Rumahe demit” kata Agus tertawa, membuat Ruslan kesal

“Goblok” sahut Ruslan, “aku eroh awakmu ngelmu, tapi yo ojok ceplas ceplos ngunu, awakmu nantang iku jeneng’e” (aku tahu kamu dulu suka ngilmu, tapi jangan begitu ngomongnya, itu kaya kamu nantangin dia) sahut Ruslan, khawatir

“Iya, Rus, paham aku, aku cuma mau lihat reaksinya”

“Itu makanannya gimana”

“Biarin aja, besok juga udah dimakan ulat” Agus menutup tirai jendela.

“Berarti temenan gak beres omah iki” (berarti bener rumah ini memang gak beres ya)

Agus duduk, sembari melihat makanan didepannya. Dirinya melihat Ruslan yang masih penasaran.

“Guk omahe sing gak beres, tapi lemahe iki sing gak beres” (bukan rumahnya yang gak beres, tapi tanah tempat rumah ini berdiri yang tidak beres)

“Lemah” (tanah) sahut Ruslan,

“Omah iki ngadek gok ndukure, lemah tapal” (Rumah ini, berdiri diatas tanah Tumbal)

Agus berdiri, dirinya berkeliling rumah, sebenarnya, daripada rumah, tempat ini lebih terlihat seperti gubuk kayu reot, hanya ada 2 kamar dan satu dapur, selebihnya ruang tamu dan pekarangan, namun, ada rumah yang lebih besar persis didepannya, rumah itu, bukan rumah demit, seperti yang Agus katakan, namun, rumah tersebut adalah rumah manusia. Agus pun mengatakannya pada Ruslan agar dirinya tidak bertanya lagi, “Perempuan tadi, itu Gundik’colo”

PASARAN

PREDIKSI MBAH JITU TOP 2D

KLIK

PASARAN SYDNEY

21 23 26 26 61 63 69 91 93 96

SELENGKANYA

PASARAN COLOMBO

50 59 56 58 60 69 68 80 89 86

SELENGKAPNYA

PASARAN SCOTLAND

34 36 38 32 84 86 82 24 26 28

SELENGKAPNYA

PASARAN SINGAPORE

98 92 90 97 08 02 07 78 72 70

SELENGKAPNYA

PASARAN JAMAICA

20 21 29 27 10 19 17 70 71 79

SELENGKAPNYA

PASARAN UGANDA

23 25 29 26 53 59 56 63 65 69

SELENGKAPNYA

PASARAN HONGKONG

96 91 93 92 16 13 12 21 26 23

SELENGKAPNYA

PASARAN KENYA

31 32 34 37 41 42 47 71 72 74

SELENGKAPNYA

PASARAN SLOVAKIA

08 02 04 07 49 42 47 79 72 74

SELENGKAPNYA

Ruslan kaget bukan main saat mendengarnya. “masa, masih ada perempuan seperti itu”

“Iya” agus mengangguk, “kelihatan”

“Dari aroma dan cara dia berjalan kelihatan sekali dia Gundik’colo”

Ruslan geleng kepala,

“Serem juga ini tempat, pergi gak kita ini” sahut Ruslan,

“Gak usah, yang penting, hati-hati aja sama tuh perempuan” batin Agus, matanya melihat sudut dapur,

“Lihat apa”

“Pocongan”

“Matamu” kata Ruslan,

Agus hanya geleng-geleng kepala,

“Ada berapa?”

Agus menatap Ruslan, “masih 7 sih Rus, kayaknya nanti malam keluar semua” Agus pun menutup pintu dapur, “biarin lah” Agus melipir ke kamar, diikuti Ruslan, “Asu” umpatnya berkali-kali

Malam itu, masih awal dari segalanya. manakala Agus sudah terlelap dalam tidurnya, Ruslan mengintip dari jendela kamarnya, disana, jauh ditempat rumah tempat perempuan tersebut tinggal, dirinya tengah berdiri tepat di jendelanya, tengah menatap tempat Ruslan mengintip.

“Asu koen Gus, gara-gara lambemu, aku gak isok turu” (Anj*ng kamu gus, gara-gara mulutmu, semalam gak tidur aku) sahut Ruslan mengejar Agus yang sudah menyampirkan tasnya, bersiap menemui Koco yang sudah menunggu diluar rumah, beberapa kali Agus melirik Ruslan, senyumannya mengembang.

“Sing ngongkon awakmu gak turu iku sopo” (yang nyuruh kamu gak tidur itu siapa) sahut Agus, cengengesan, sampai didepan, Agus membuka kain yang dirinya gunakan untuk menutupi makanan, ketika kain dibuka, Ruslan melompat, melihat makanan semalam, dipenuhi belatung yang memakan saripatih, bau busuk langsung menusuk hidung Agus dan Ruslan.

“Bosok” (busuk) ucap Agus, “Ayo wes, kawanen” (yasudahlah, kesiangan kita)

Agus dan Ruslan melangkah keluar, tepat di depan rumah, tiba-tiba, mereka berhadapan dengan perempuan itu lagi, dirinya menunduk, mengucap “monggo”

Agus ikut menunduk, kemudian, melewatinya.

Ruslan yang sedari tadi memperhatikan, melihat gelagat mata perempuan itu yang mengikuti sosok Agus yang terus berjalan cepat, di sudut bibirnya, perempuan itu tersenyum, namun, Agus tidak tahu akan hal itu.

“He, gus, wong iku mau ngguyu loh ndelok awakmu, gak wedi ta” (gus, orang tadi senyum loh lihat kamu, gak takut)

“Tresno paling ambek aku” (suka kali sama aku) sahut Agus, tertawa-tawa

“Gak wedi di senengi ambek ngunu iku” (gak takut kamu di sukai yang seperti itu)

“Gak, iku ngunu jek menungso kok” (gak lah, bagaimanapun, dirinya itu masih manusia kok)

Lama mereka berjalan di bawah kebun pohon jati, sampailah mereka di jalanan setapak, menuruni jalan utama, sebelum melihat Koco dan semua teman-temannya, Agus dan Ruslan bertegur sapa sebelum memulai pekerjaannya.

Ruslan masih kepikiran ucapan Agus semalam, semuanya berputar dalam kepalanya, mulai dari tanah layat, pocong sampai Gundik’colo, semua itu, tidak asing baginya, kecuali, masih ada perempuan seperti itu di jaman sekarang.

Seujujurnya, dirinya takut sekali, namun Agus, aneh, hari mulai petang, Agus dan Ruslan kembali, manakala dirinya mau melewati jalan ke pohon jati, kebetulan, mereka berpapasan dengan seorang lelaki tua pencari rumput, lelaki itu, melihat Agus dan Ruslan bergantian.

“Kalian yang tinggal di rumah Lastri”

“Iya” kata Agus,

“Kalian sudah tahu, ada apa disana” ucap lelaki tua itu lagi, dirinya kali ini hanya melihat Agus,

“Iya bapak, saya tahu” sahut Agus,

“Yowes” katanya, “Jangan sembrono yo le” si lelaki tua pergi, melewati Agus,

Dari jauh, siluet hitam perempuan itu terlihat di ujung jalan

Ruslan yang pertama melihatnya, manakala saat Agus melihatnya, perempuan itu berjalan pergi, Agus dan Ruslan hanya berpandangan, lalu melanjutkan perjalanan ke rumah.

“Aneh gak seh” (aneh gak sih) kata Ruslan, “wong iku koyok golek molo” (perempuan itu kaya cari masalah sama kita)

Agus hanya mendengar Ruslan bicara, saat sampai di tanah terbuka, Agus melirik rumah besar itu, meski sama-sama terbuat dari kayu, namun, kesan ngeri saat melihatnya tidak dapat dikesampingkan, hal yang sama, seakan setiap hari, rumah itu menunjukkan tajinya kepada Agus.

Agus membuka pintu, dirinya tidak lagi melihat makanan diatas meja, semua sudah di bersihkan

“Aku adus dilek yo” (aku mandi dulu ya) ucap Agus, dirinya menuju dapur, dibelakangnya ada pintu lagi, disana ada sumur tua, Ruslan, memilih merokok di teras, rokok yang dirinya rampas dari Koco

Manakala ketika Ruslan menikmati kepulan asap rokok di teras rumah, Ruslan melihat sesuatu mengintip dari balik kebun pohon Jati

Ruslan mendelik, dirinya tidak salah lagi, yang mengintip itu pocong,

“Jancok!!” ucap Ruslan, melipir masuk ke rumah, menuju tempat Agus mandi

kebetulan, Agus baru selesai, dirinya melihat Ruslan, rokok dimulutnya mengepul tanpa dirinya sentuh

“Pocongan ya” kata Agus, sembari mengeringkan rambutnya “itu di kamar mandi ada dua”

Ruslan mengikuti Agus, “Pindah ae loh Gus, gak sreg aku nang kene” (pindah aja yuk, gak tenang aku)

Saat itulah, Agus mengintip Rumah besar itu dari jendela, matanya seperti tengah mengawasi,

“Gini, Rus” kata Agus serius, dirinya tidak pernah seserius ini, “Tanah tapal biasanya dipakai oleh orang kaya atau gak orang berpengaruh, sekarang pikir, kira-kira ada apa ya di rumah itu”

“Ya mungkin dulunya tanah ini tanah tapal, tapi belum di bersihkan, ya kali, dikira aku gak tau, ngebersihan tanah kaya gini sih gak sembarangan dan jarang orang mau, bahkan orang ngilmu kaya kamu, gak bakal mau bersihin kan” jelas Ruslan, dirinya masih melihat Agus yang masih mengawasi.

“Tau aku maksudmu Rus” jelas Agus, sekarang dirinya duduk, “Gunanya perempuan itu apa coba” “udah di tanah tumbal, eh di jaga sama Gundik’colo lagi, aku penasaran, yang punya siapa ya, aku jadi pengen tahu” Agus mengedipkan mata melihat Ruslan, saat itu Ruslan menyadarinya..

“Cok” kata Ruslan yang baru sadar arah pembicaraan Agus, “Koen kate nyolong opo sing gok jeroh omah iku ya” (kamu mau mencuri barang yang ada di dalam rumah itu kan) “Gila kau, itu perempuan gak sembarangan ya, cari mati kamu” Ruslan tak sanggup bicara lagi,

“Bukan aku, kita”

“Matamu gus” “awakmu dewe ae, pantes, ket pertama wes disuguhi barang gak bener ambek sing nduwe omah” (Matamu, kamu aja, pantas, dari awal, sudah dikasih sesuatu yang gak masuk akal sama yang punya rumah)

“Halah” Agus tertawa, “Gak lah, aku yo gak gendeng” (aku juga gak segila itu)

“Aku itu cuma penasaran aja, kerjaan itu perempuan jagain apa, atau gak, ngapain dia, kalau pocongan yang dibelakang kamu kan, cuma bisa ngelihatin kita, gak bakalan ngapa-ngapain, nah, masalahnya tuh perempuan juga ngawasi kita, pasti ada sesuatu” sahut Agus,

Ruslan, diam.

“Gus boleh tanya” Ruslan mencoba untuk tenang, Agus mengangguk, “Kata orang, tanah tumbal kalau dijaga pocong, tanahnya, ditanami kain kafan dari orang anyg meninggal, itu betul?”

Agus mengangguk,

“Dan kain kafan yang meninggal’pun gak sembarangan, harus jumat kliwon, betul?”

Agus mengangguk lagi,

“Berarti, berapa banyak, kain kafan yang ditanam di dalam tanah ini?” Ruslan menunggu Agus bicara

Agus tampak berpikir, “seratus kayanya”

Ruslan menelan ludah, “ada seratus pocong disini gus”

“Iya” kata Agus, “di luar, masih banyak yang berdiri lihatin kita”

Ruslan berdiri, dirinya menyesap rokok, tinggal 2 batang lagi, saat Agus meminta sebatang, Ruslan menolak, “Matamu, aku yo penasaran dadine, opo yo sing onok gok jeroh omah iku” (Matamu, aku kok jadi penasaran juga, apa ya yg disembunyikan disana)

“Mau lihat gak” sahut Agus,

“Oke”

Agus membuka pintu, diikuti Ruslan, “Loh loh, kok sak iki, gak engkok rodok bengi tah” (Loh loh, kok sakarang, gak nanti lebih malam tah)

Agus tetap berjalan, Ruslan kebingungan, mereka sampai di depan pintu, Agus mengetuknya, dan perempuan itu muncul, melihat Agus dan Ruslan

“Daripada saya penasaran, saya mau tanya sama kalian, kalian ini jaga apa sebenarnya?” kata Agus, Ruslan hanya melongo melihat kawan baiknya yang sudah hilang otak,

Perempuan itu tersenyum, mengangguk, lalu berujar lirih, “mongg mas,” (silahkan masuk mas)

Agus, melangkah masuk

Ruslan mengikuti dibelakang, dirinya melihat perempuan itu yang masih menunduk, memberi hormat pada mereka, setelah Agus dan Ruslan duduk, dirinya menutup pintu, menguncinya

“Saya kebelakang dulu untuk mengambil makanan, terima kasih, saya tidak perlu melakukan hal buruk pada kalian”

“Goblok” ucap Ruslan, “kamu gak bilang maksudnya lihat itu begini, aku kira nanti malam kita sembunyi buat lihat sendiri”

Agus hanya diam, dirinya tidak menggubris mulut Ruslan, tiba-tiba, perempuan itu muncul, “mas Agus benar, bila kalian datang sembunyi-sembunyi, kalian bisa celaka!!”

“Mbaknya tahu namanya Agus darimana?” tanya Ruslan,

“Saya pun tahu, nama anda Ruslan” perempuan itu meletakkan dua gelas kopi, tangannya begitu telaten, termasuk saat menghidangkan jajanan pasar itu, Ruslan tidak lagi bicara, dirinya fokus pada ekspresi perempuan itu yang datar.

“Saya sudah sering melihat petaka dimulai dari ketidaktahuan dan rasa penasaran, sejujurnya, hal itu memang bersifat lumrah dan dimiliki oleh setiap orang, termasuk anda, jadi, apakah semua sudah jelas mas Agus”

Aagus hanya diam, keningnya berkeringat, Ruslan baru menyadarinya

Agus tidak banyak bicara, dirinya meraih segelas kopi, menyesapnya perlahan, kemudian melirik Ruslan, “Kopinya aman Rus, diminum saja”

Ruslan pun merasa canggung, dirinya tidak mengerti, perempuan itu duduk, dan tidak memandang mereka, matanya kosong melihat tempat lain dengan perlahan, perempuan itu menengok pada Agus dan Ruslan, “kalian masih ingin tahu ada apa disini?”
Agus dan Ruslan diam saja, tidak ada pembicaraan lagi, saat Agus kemudian mengatakannya, “terimakasih suguhannya, saya pamit mbak Lastri” Agus berdiri, perempuan itu mengangguk.

Ruslan merasa aneh, dirinya tahu, Agus tiba-tiba berubah semenjak dirinya melewati pintu, seperti ada sesuatu yang tidak dapat dirinya katakan, manakala mbak Lastri sudah membuka pintu, Agus dan Ruslan melangkah pergi, ketika tiba-tiba, Ruslan tercekat, di luar rumah mbak Lastri, berjejer pocong

Agus dan Ruslan bergegas pergi, dirinya mencium aroma busuk yang membuat Ruslan menutup hidung, meski Agus berjalan biasa saja, dirinya seperti melamun, matanya kosong, Ruslan segera menutup pintu, dirinya melihat pocong-pocong itu menatap rumahnya, disana, perempuan itu masih berdiri di pintu

“Ada apa gus sebenarnya?” tanya Ruslan, Agus hanya bengong, matanya benar-benar kosong

Karena lelah menunggu Agus menjawab, Ruslan memberikan sebatang rokok dimulut Agus, beberapa saat kemudian Agus seperti baru sadar, “Cok, minggat yok” (pergi yuk)

Ruslan, heran

Agus masuk ke kamar, memasukkan semua bajunya ke tas secara serampangan, Ruslan yang masih kebingungan lantas, mendorong Agus bertanya dengan kesal “Onok apa sakjane” (ada apa sih sebenarnya) “Koen mau loh gak ngene, opo gara-gara kopi mau” (kamu tadi loh gak papa, apa karena kopi)

Agus menggeleng, “kopinya gak papa Rus, tapi” Agus menelan ludah, seperti lidahnya keluh,

“Kamu sih bodoh, ngapain nyamperin ke rumahnya, jadi gini kan sekarang” Ruslan menatap Agus kesal, “Itu pocong pasti sengaja biar aku lihat kan, sialan si Lastri”

“Aku kasih tahu ya Rus” kata Agus, “ini adalah tanah tumbal, kamu dengar sendiri kan, gimana ucapannya kalau kita sembunyi-sembunyi cari tahu, dia ngancam itu sebenarnya, satu yang harus kamu ingat dalam kepalamu, kalau kamu niat buruk ke tanah tumbal, nasibmu bisa tragis”

“Jadi karena itu, kamu datangin dia langsung” tanya Ruslan,

“Iya, buat minta ijin, kalau dia ngasih tahu”

“Trus, dia sudah ngasih tahu apa yang dia lakukan” Ruslan melihat gelagat Agus berubah, Agus membelakangi Ruslan, “dia perempuan yang gila rus, aku, mencium aroma darah disana”

“Darah apaan?” “darah pocong kali yang kita lihat tadi” sahut Ruslan

“Gak gak gak!!” sahut Agus” aku pernah cium aroma kaya gini, ini bukan darah karena luka, ini darah, apa ya” Agus tampak berpikir,

“Darah yang baunya amis sekali, darah perjanjian” Agus langsung sadar, “perjanjian”

“Tumbal maksudmu, pocong tadi” Ruslan masih bingung,

“Goblok kamu ya Rus,” “Tumbal itu gak harus manusia” kata Agus mulai kacau, “tanah Tumbal, itu maksudku, tanah ini di tanami bermacam-macam tumbal, ada kain pocong, rambut yang punya rumah pun bisa jadi tumbal, tumbal binatang”

“Orang dulu, terutama mereka yang punya nama, menggunakan bermacam-macam tumbal, agar tidak ada yang punya niat buruk bisa mencelakainya, tumbal pocong untuk menakut-nakuti saja, sama halnya dengan tumbal rambut si pemilik rumah, siapapun yang punya niat buruk, dirinya akan lihat si pemilik rumah terus menerus, tumbal binatang, bahkan, tumbal rempah-rempah, seperti cabai, bawang merah dan putih, semua itu bisa jadi tumbal, asal, ada mantra perjanjiannya, tumbal manusia jarang digunakan untuk menjaga rumah, tapi, saat aku masuk ke rumah itu.

“Ada sesuatu yang gak beres, sesuatu, yang gak bisa aku lihat, hanya tercium aroma amis darah itu, menyengat sekali, sampai membuatku ketakutan, ini gak biasa, ini, diluar apa yang aku tahu, perempuan ini, dirinya sesuatu yang sangat hitam, ancuk lah” sahut Agus, dirinya semakin kacau, tiba-tiba, terdengar suara pintu di ketok dengan keras,

“Tok!! Tok!! Tok!!”

Agus dan Ruslan, berpandangan satu sama lain.

Agus berjalan keluar kamar, Ruslan memandang dari dalam, dirinya mengintip, siapa yang mengetuk pintu, saat Agus membuka pintu, Ruslan melihat mbak Lastri, dirinya membawa piring dengan jajanan pasar, terdengar dirinya berbicara dengan Agus,

“Makanannya tadi belum dimakan mas”

Lastri, melirik..

“Tenang saja, makanannya saya beli dari pasar, jadi, gak ada lemah layatnya”

Agus hanya mengangguk, sementara Ruslan masih mengawasi, terjadi percakapan antara Agus dan mbak Lastri, namun, Ruslan tidak bisa mendengarnya,

“Saya tunggu jawabannya mas”

Mbak Lastri pergi.

Agus meletakkan begitu saja piring itu lantas menatap Ruslan,

“Ada apa gus?”

“COK!!” ucap Agus, dirinya kemudian duduk, dan menutupi wajahnya, tidak ada yang mau dirinya bicarakan sama Ruslan, namun, Ruslan tahu sesuatu, mereka belum boleh pergi.

Agus benar-benar tidak mau bicara lagi, lantas dirinya masuk ke kamar lalu tidur, Ruslan pun mengikuti, meski seranjang, Ruslan merasa pasti mbak Lastri mengatakan sesuatu, apa itu, entahlah,

Malam kian larut, baru saja Ruslan memejamkan mata, dirinya mendengar lagi, suara pintu di ketok

Anehnya, suara pintu diketuk tidak terdengar dari pintu depan, melainkan, dari pintu belakang, Ruslan beranjak dari ranjang, ia ingin membangunkan Agus namun, dirinya merasa tidak enak,

Keluar dari kamar, Ruslan, berjalan menuju pintu belakang, dirinya terdiam, di depan pintu. ragu untuk membuka semakin lama, ketukan pintu semakin intens, Ruslan akhirnya membuka pintu, saat dirinya melihat, seorang anak muda, anak muda yang usianya masih 20’an, anak itu menatapnya, ekspresinya ketakutan dengan keringat di bajunya,

“Mas tolong, mas, ijinkan saya masuk, tolong”

Ruslan, diam

“Ngapain malam-malam kamu kesini” tanya Ruslan, si anak lelaki sempat bingung, bibirnya gemetar, namun, kembali dirinya meminta tolong, dan meminta Ruslan mengijinkannya masuk,

“sopo Rus?” (siapa Rus?) tanya Agus tiba-tiba muncul, dirinya menatap anak muda itu, ekspresi wajahnya berubah

Agus mendekat dengan cepat, mencengkram baju anak itu, menariknya masuk, kemudian menutup pintu, wajah Agus terlihat panik

“GOBLOK!! kamu maling di tanah tumbal? cari mati kau!!”

Ruslan baru sadar apa yang terjadi, dirinya menatap anak lelaki itu yang kini ketakutan, Ruslan ikut panik belum selesai pembicaraan Agus, tiba-tiba, pintu depan di ketuk,

“Tok tok tok”

Ruslan dan Agus, menatap pintu, mereka terhenyak, Agus mendorong masuk anak itu ke kamar, menyembunyikannya di bawah ranjang,

Ruslan membuka pintu, dirinya melihat mbak Lastri, berdiri dengan parang, wajah mbak Lastri, melotot, dengan senyuman segaris nyaris seperti menahan luapan amarah, di tangannya, mbak Lastri mengenggam parang

“Ada apa lagi ya mbak” kata Ruslan, dirinya melihat gelagat mbak Lastri yang kemudian matanya menyapu isi dalam rumah, meski kakinya belum beranjak

“Ndelok Tekos kebon gak” (kamu lihat tikus kebun), mata mbak Lastri masih mencoba melihat-lihat isi rumah, namun, Ruslan menghalangi, wajah mbak Lastri semakin tidak enak untuk dilihat,

“Minggir, ben tak pedote sikile” (minggir, biar ku potong kakinya) sahut mbak Lastri

Mbak Lastri mendorong Ruslan, dengan langkah kaki cepat dirinya menyibak tirai kamar tempat dimana Agus dan Ruslan biasa tidur,

Jantung Ruslan rasanya mau copot, terutama, ketika sorot mata mbak Lastri menatap tajam Ruslan setelah dirinya melihat isi kamar,

“Mati aku” batin Ruslan

Mbak Lastri berbalik, tapi sebelum melewati Ruslan, dirinya mengingatkan, “Kancamu asline wes eroh, nek iku bakal mati kok, cuma sampekno, ojok jeru-jeru nek melu urusan sing gak dingerteni” (sebenarnya temanmu sudah tahu, dia akan mati kok, cuma sampaikan jangan terlalu ikut campur)

Ruslan mondar-mandir sepanjang malam, jantungnya terus berdegup kencang, tidak ada Agus dan bocah itu dalam kamar, rokok pun habis, kepala Ruslan seperti ditusuk-tusuk, dirinya gelisah, berjam-jam, Agus dan bocah itu hilang, “kucur” (sensor)(kemana manusia-manusia itu)

Pintu terbuka, Agus melangkah masuk, nafasnya tersenggal, badannya bermandikan keringat, dirinya langsung meneguk air dalam ceret sampai habis sebelum membantingnya

“GOBLOK!!” umpatnya saat melihat Ruslan, “Mati arek iku” (pasti mati anak itu)

Ruslan teringat ucapan mbak Lastri, ada apa sebenarnya

Ruslan mendekati Agus, ucapan mbak Lastri dan Agus nyaris sama persis, namun, hanya dia yang belum memahami situasi, dirinya tampak berpikir, namun isi kepalanya sudah mentok, dengan pelan, Ruslan mengatakannya kepada Agus,

“,aksudmu opo” (maksudmu apa)

Agus, mendelik menatap Ruslan,

“Aku bar ngekekno cah iku gok Lastri, ben arek iku isok urip” (aku mau memberikan anak itu kepada Lastri, biar dia bisa hidup), “Tapi cah kui, malah mencolot gok jendelo” (tapi anak itu malah melompat lewat jendela), “langsung ae tak kejar, ben uripe jek dowo, kan eman”-

(langsung saja, aku kejar, sayang hidupnya masih panjang)

Ruslan yang mendengarnya langsung bereaksi, “Stress koen Gus, sing onok, cah iku bakal di bacok ambek Lastri” (gila kamu ya, yang ada, anak itu bisa di potong sama Lastri)

“Justru iku” “paling derijine tok sing dipedot”

(Justru itu, paling hanya jari-jemarinya yang dipotong)

Ruslan, semakin bingung. namun Agus mengerti, Ruslan belum mengerti, lantas, dirinya mengulangi ucapan yang pernah dia katakan itu lagi, agar, Ruslan ingat.

“Jangan membuat masalah, diatas Tanah Tumbal, apalagi, untuk mencuri”

“Gimana gimana” kepala Ruslan seperti dibenturkan ke tembok, ucapan Agus terlalu berbelit

Lantas, Agus duduk, dirinya memandang Ruslan, wajahnya tidak bisa dibaca, bahkan oleh Ruslan sekalipun, yang sudah mengenal Agus luar dalam

“Nduwe rokok gak?”(punya rokok gak)

“gak” ucap Ruslan

“Aku tadi ngejar anak itu, kenceng banget larinya udah kaya kijang, dari situ aku jadi yakin, pasti ada apa-apa dari anak ini” Agus diam “Anak ini disuruh oleh orang untuk melakukan sesuatu disini, hal yang paling bangs*t! adalah, anak itu tidak tahu, tanah apa yang sebenarnya ada disini”

“Dia ada yang nyuruh” sahut Ruslan, Agus mengangguk,

“Anak itu sudah ketahuan, pantas saja, itu pocong sampe ngumpul kaya tadi, ternyata, mereka nungguin anak ini” “Masuk ke tanah tumbal, gak bisa seenaknya kaya gitu, harus dapat ijin yang punya, sedangkan, yang punya bukan Lastri”

“Lalu, hubungannya Lastri bawa parang apa?!” ucap Ruslan,

“Dia mau nolong anak itu, kalau anak itu mau selamat, dia harus minta ijin sama yang punya tanah ini, tapi itu kan gak mungkin, jadi, Lastri akan ambil apa yang harus di ambil dari anak itu, yaitu, jari-tangannya”

“Kalau Lastri gak melakukan itu” Ruslan menatap Agus, dirinya melihat Agus menatap kosong apa yang ada didepannya, lantas dirinya berdiri, lalu masuk ke kamar

Ruslan langsung sadar, dirinya teringat dengan maksud kedatangan Lastri tadi, sekarang dirinya tahu, alasan kenapa mereka belum boleh pergi, pagi itu, berjalan seperti biasanya.

Agus tidak banyak bicara seperti sebelumnya, dirinya sudah bersiap menuju tempat kerja, Ruslan hanya mengawasi, dirinya tidak mau membahas kejadian semalam.

Agus melihat sebungkus nasi di meja “Aku yang bungkusin makanan itu subuh tadi gus” kata Ruslan,

Setelah mendengar kata Ruslan, Agus baru mau membuka makanan itu, aneh. Agus yang sekarang dilihat Ruslan, seperti bukan Agus yang biasanya

“Kenapa tadi diam, takut makanannya dari mbak Lastri, biasanya kan, langsung tau dari aromanya” canda Ruslan, yang tidak ditanggapi sama Agus

Seusai Agus makan, mereka bersiap berangkat bersama, Agus masih tidak banyak bicara, namun, seperti tersentak, manakala baru keluar dari pintu, Mbak Lastri berdiri di teras rumah, di tangannya, dirinya tengah memegang gagang sapu.

Dirinya berdiri, tersenyum, menyapa mereka

“Ngeri” batin Ruslan, dilihat darimanapun, wajah mbak Lastri tidak memiliki emosi, matanya besar, hidungnya mancung, kulitnya sawo matang, dengan rambut disanggul, karismanya, membuat Ruslan sadar, Gundik’colo rupannya memang gila seperti cerita-cerita yang tersebar.

Ruslan menunduk baru juga Ruslan melewati mbak Lastri, Agus tiba-tiba diam berdiri di depan mbak Lastri, Ruslan ikut berhenti, dirinya menatap mbak Lastri yang memberikan sesuatu kepada Agus, namun, Agus buru-buru memasukkannya kedalam saku, seakan menyembunyikannya dari Ruslan, sorot mata Agus kaget

“Dia ngasih apa Gus” tanya Ruslan,
Agus hanya menggeleng, dirinya tetap berjalan, seakan mengabaikan Ruslan, kesal, Ruslan menarik tangan Agus, memintanya bercerita, terpaksa Agus mengambilnya dari saku celananya, dirinya, mengeluarkan setangkai bunga kamboja, Ruslan melotot menatap Agus

Koco sudah menunggu bersama yang lainnya, dirinya membagikan jatah rokok hari ini kepada Agus dan Ruslan, namun, Koco merasa hari ini ada yang berbeda dengan dua kawannya

“Onok opo toh iki, raine gak mbois blas” (ada apa sih ini, kok mukanya pada gak enak)

Ruslan melewati Koco “Nyocot”

Agus dan yang lainnya segera naik ke mobil pick up yang akan mengantarkan mereka ke tempat kerja, melewati rumah-rumah warga dari semua orang yang ada disana, hanya Koco yang juga merasa Agus jadi aneh, dirinya melihat Ruslan, memberi isyarat

“Kenapa sih Agus” namun Ruslan tidak perduli.

Jalan menuju lokasi kerja harus melewati jalan setapak yang hanya cukup dilalui satu mobil, disamping kiri ada perkebunan warga, disamping kanan tebing rumput, dengan sungai beraliran deras,

Ruslan merokok sambil melirik Agus, pikirannya kosong, disenggol beberapa kalipun, Agus tidak peduli, tiba-tiba, terdengar ramai orang tengah berkumpul disana, semua orang lantas berdiri di atas mobil pick up, mencari tahu ada apa, termasuk Agus dan Ruslan, mereka melihat warga menuruni tebing,

Koco yang saat itu dekat dengan satu warga yang mendekat langsung bertanya

“Onok opo cak” (ada apa pak)

“Onok cah mati nang pinggir kali mas” (ada anak kecil meninggal di sungai)

Ruslan menatap Agus, lantas, mereka semua langsung ikut turun untuk melihat.

Warga sudah ramai. “anak kecil dia bilang gus” kata Ruslan, “yang semalam kan anak gajah, sudah gak masuk anak-anak itu” bukannya tertawa, Agus justru ikut turun, melewati kerumunan warga, Ruslan yang merasa harus lihat juga terpaksa ikut Agus, ketika Ruslan berhasil, Agus mematung

“Cok” Ruslan tertunduk, menyaksikan sosok yang ditarik itu adalah pemuda semalam

Dirinya menarik Agus namun, Agus menolak, Koco rupannya dari tadi memperhatikan, dirinya ikut menarik Agus, dan akhirnya mereka pergi.

“Aku mau ngomong sesuatu sama kalian” kata Koco, “Harus tak sampein kayanya”

Baru pertama kali, muka Koco tampak serius, sepanjang perjalanan, Koco tampak seperti mau bicara namun dirinya menahan semuanya, Ruslan dan Agus apalagi, mereka, sepanjang perjalanan tidak ingin bicara, pikiran mereka berdua, melayang-layang teringat wajah pemuda itu.

Turun di lokasi kerja, Agus tidak perduli dengan apa yang mau disampaikan Koco, dirinya memilih untuk mulai mengaduk semen bersama yang lainnya, hanya Ruslan yang mendengar Koco,

“Ngene, koyok’e omah sing mok panggoni angker yo” (gini, kayanya, rumah yang kamu tempati itu angker ya)

Ruslan, diam. dirinya tidak tahu harus menanggapi apa yang baru Koco ucapkan.

“Orang yg sebelumnya tinggal disana, itu mereka cerita kalau setiap malam, ada yang suka ngelihatin mereka” Koco tampak berpikir,

“Pocong sih katanya”

Ruslan masih diam.

“Mah, sebelum mereka pergi, satu dari empat orang yang tinggal, dia kaya si Agus begitu, diem aja” jelas Koco

“Terus” Koco tampak berpikir, lalu meminta Ruslan mendekat, saat Koco berbisik, Ruslan melotot menatap Koco, “Goblok. Wes eroh koyok ngunu, aku ambek Agus ber mok kongokon nang kunu, Edan koen cok!!”

(bodoh, sudah tahu kaya gitu, aku sama Agus malah disuruh tinggal disitu, gila!)

“Loh aku juga cuma ngikutin peraturan, udah gak ada kamar di mes, rumah itu sudah dibayar setahun penuh” Koco mencoba membela.

“Ya tapi, kamu gak bilang kalau ada kejadian begitu, tau tidak, perempuan depan rumah itu, Gundik’colo” sahut Ruslan,

Koco langsung diam.

“Jangan ngawur kamu Rus” kata Koco “mana ada perempuan begitu jaman sekarang!! fitnah Rus, fitnah!!”

“Agus yang bilang, kalau kamu gak percaya, tinggal sama aku saja, masih ada satu kamar” kata Ruslan,

“Matamu!! gak mau aku” Koco menolak, “yakin, dia Gundik’colo, sakti dong!!”

“Iya. sakti” kata Ruslan, “kalau dia mau, dia bisa gorok lehermu dari rumah”

Koco tidak bicara, ia seperti ingat sesuatu, tapi enggan mengatakannya, “Gini Rus, si Agus, awasi dia ya, kalau ada aneh-aneh, bilang sama aku, aku kenalin sama seseorang” kata Koco,

“Asu koen cok!!”

Semenjak Ruslan tahu sesuatu, setiap diriinya sampai di rumah, Ruslan mengunci pintu, dirinya sering melihat ke jendela, matanya mengawasi rumah itu.

“Gus, kapan yang punya ini tanah datang”

“Nanti Lastri ngasih tahu” ucap Agus,

“Kamu sih nantangin perempuan itu” kata Ruslan,

“Rus, aku mau ngomong, kalau aku pergi, kamu di rumah aja, jangan kemana-mana ya” jelas Agus

“Piye gus” tanya Ruslan, saat itu juga, suara pintu diketuk, Ruslan terhenyak sesaat menatap pintu

Agus, berdiri, dirinya membuka pintu, tepat disana, ada mbak Lastri, Agus menutup pintu

Ruslan hanya bisa diam, ketika Agus melangkah lebih dulu, dibelakang, mbak Lastri menunduk memberi salam pada Ruslan, tepat di tangannya, dirinya mengenggam pisau kecil yang biasa digunakan untuk memotong ari-ari,

“Saya dulu, mas Ruslan” ucap Lastri, dirinya mengikuti Agus masuk rumah

Ruslan langsung lari, dirinya menembus kebun Jati, dirinya harus mencari Koco, menyampaikan apa yang dirinya lihat, tepat seperti apa yang Koco ceritakan siang tadi,

Manakala, Ruslan berlari, dirinya mencium aroma kentang, sekeliling kebun Jati, dipenuhi pocong

“Mas, tolong, bukake tali kulo” (mas, tolong, bukakan tali saya)

Satu diantara mereka mendekati Ruslan, dirinya melayang hanya beberapa senti dari atas tanah, Ruslan gemetar, dirinya tidak mau melihat muka yang hancur dan berbau kentang itu,

Ruslan, lanjut lari. Syukur, Ruslan tahu dimana biasa anak-anak nongkrong, Koco sedang main kartu, saat Ruslan menceritakan Agus, Koco menelan ludah, dirinya buru-buru pinjam motor, mengajak Ruslan menemui seseorang,

Selama diperjalanan, Ruslan hanya kepikiran dengan sorot mata Lastri, licik,

“Agus iku ngilmu tapi loro” (Agus itu ngilmu tapi sakit) “Kalau tahu ada Gundik’colo, ya mending ngalah, gak usah ngelawan gitu to, wong pintar aja pikir-pikir kalau adu ilmu sama yang model begituan” sahut Koco, dirinya menambah kecepatan motor, menembus rumah warga

Sesampainya disana, Koco buru-buru mengetuk pintu, namun, si pemilik rumah sepertinya tidak ada, rumah kayu itu ditutup rapat, Ruslan menatap kesana kemari, kepalanya sakit sekali, Agus seperti dipelet terang-terangan sama mbak Lastri, tapi apa ya bisa, Agus kepelet semudah itu

Koco terus memanggil, namun, tetap tidak ada jawaban, Ruslan yang sudah tidak sabar ikut mengetok pintu, saat, dibelakangnya, terdengar seseorang “Cari siapa le” (mencari siapa dek)

Koco dan Ruslan berbalik, dirinya melihat lelaki tua dengan sak berisikan rumput, menatap mereka Ruslan ingat dengan lelaki tua itu, dirinya suka mencari rumput di kebun jati, tapi, bila di ingat lagi, cari rumput kenapa harus malam seperti ini, apalagi, rumput yang dia ambil dari kebun jati tempat Ruslan melihat.

“Malam pak” Koco memberi salam, mencium tangannya, Ruslan, diam

Koco menceritakan semuanya, lelaki tua itu hanya berdiri di ambang pintu, dirinya mengintip ke jendela, “pirang atus pocong iki sing ngejar awakmu le” (ini berapa ratus pocong yang ngejar kamu nak)

Koco ikut melihat jendela namun dirinya tidak melihat apapun, namun Ruslan, melihatnya..

“Kamu pulang saja, teman kamu sudah gak bisa ditolong” sahut lelaki tua itu kepada Ruslan, namun, Koco mencoba bilang, “Tapi mbah, yang dulu juga mbah kan yang nolongin”

“Beda kasus itu le” kata si lelaki tua, “kalau yang ini, temanmu sejak awal disukai sama cah gendeng iku”

“Cah gendeng mbah?” tanya Koco,

“Apalagi kalau gak gendeng tuh bocah, aku tau perjalanan hidupnya sampai dia jadi begitu, saya sih bisa kalau adu ilmu, tapi ya, Gundik’colo ini” lelaki tua itu tertawa, dirinya melempar pocong yang Ruslan lihat dengan tulang ayam, “saya bisa mati”

“Lalu bagaimana mbah?” tanya Koco,

“Temanmu itu ilmunya juga lumayan, dia pasti ada alasan kenapa mau, kalau dipelet sih, gak yakin aku, pasti ada yang dia sembunyikan” kata si mbah, sekarang, dirinya melempar apapun kearah pocong diluar rumah, Ruslan bingung, seperti dirinya sengaja. Koco sudah tidak bicara lagi, namun kemudian, Ruslan mengatakan apa yang seharusnya dirinya katakan dari tadi.

“Mbah bilang tadi tahu perjalanan hidupnya, mbah kenal sama mbak Lastri?”

Setelah Ruslan mengatakan itu, lelaki tua itu berhenti bermain sama pocong di depannya, dirinya diam.

“Ia saya kenal dia” lelaki tua itu kini duduk, dirinya menutup pintu setelah meludahi pocong yang mau masuk ke rumah, “Guru saya yang membantunya menjadi Gundik’colo seperti sekarang, namun hal tersebut semua, atas dasar keinginannya sendiri”

“Lastri, sebenarnya, seusia sama saya”

“Kalian ada rokok” sahut lelaki tua tersebut,

Ruslan memberi tanda pada Koco, Koco langsung tahu maksud Ruslan, dirinya meraba saku celana, mengeluarkan sebatang rokok, memberikannya pada lelaki tua itu, dirinya menghisap rokok sebelum mengatakannya

“Lastri bukan yang pertama di kampung ini”

“Maksudnya mbah” tanya Ruslan,

“Lastri bukan Gundik’colo pertama di sini, karena, dulu, sudah ada Gundik’colo juga sebelum Lastri”

Koco beringsut mundur, Ruslan apalagi, lehernya meremang, merinding, satu Gundik’colo saja sudah gak waras, ini, malah sudah ada sebelumnya

“Lalu, bagaimana akhir Gundik’colo sebelumnya mbah?” Tanya Ruslan, Koco hanya bisa menelan ludah, di rumah kayu itu, mendadak, hening, sepi sekali, bahkan, api petromax bergoyang tidak normal, lelaki tua itu tampak berpikir sebelum

“Lastri ada di depan, sebaiknya kalian kembali”

Lelaki tua itu berdiri, dirinya membuka pintu, jauh di sana, mbak Lastri berdiri di teras rumah, matanya kosong melihat kearah pintu, lelaki tua itu menatap Ruslan dan Koco,

“Saya tidak bisa membantu banyak, temanmu, dia sudah ada di rumah, masalah ini, coba selesaikan dengannya”

Ruslan melirik ketika dirinya berpapasan dengan Lastri yang kemudian masuk ke rumah lelaki tua itu, dirinya mendengar Lastri menggumamkan sebuah nama, “Pornomo”, jadi, nama lelaki tua itu adalah Pornomo, untuk apa, Lastri masuk ke rumahnya, apakah ada sesuatu yang mau mereka bicarakan,

“Edan!! aku jek gak percoyo, Gundik’colo jek onok, mese onok 2 pisan nang deso iki, gendeng” (Parah!! aku masih gak percaya, Gundikcolo masih ada, malah ada 2 lagi di desa ini, Gila) kata Koco di atas motor,

Ruslan, hanya berucap “nyocot!!”

Koco diam,

setelah Koco mengantar Ruslan, ia kembali ke rumah itu, melewati kebun jati sendirian, dari jauh, rumah itu sudah bisa dilihat, pintunya terbuka, tepat ketika Ruslan melewati pintu, ia melihat Agus, tengah duduk seperti menunggunya..

“tekan ndi?” (darimana?)

“cari rokok gus”

Agus hanya mengangguk, seakan tidak mau mendebad Ruslan, ia masuk ke kamar, sebelum masuk, Agus mengatakannya, “awakmu turu nang sebelah yo, aku kepingin turu ijen” (kamu nanti tidur di kamar sebelah ya, aku ingin sendirian)

Ruslan tidak menjawab, Agus berbeda,

berjam-jam sudah berlalu, Ruslan masih belum bisa memejamkan matanya, lantas, ia tiba-tiba merasa harus tahu, apa yg ada di dalam rumah itu, apa yg di jaga sampai yg jaga harus perempuan seperti itu,

Ruslan beranjak dari ranjang, lantas, ia berpikir untuk memeriksanya saja,

ia melewati kamar Agus, berjalan pelan-pelan, saat, Ruslan merasa ada yg salah, ia kembali, membuka gorden yg menutupi kamar Agus, disana, Ruslan terhenyak, melihat Agus duduk bersila di atas ranjang, di depannya, darah berceceran,

Agus memuntahkan darah dengan mata terpejam

“he cok koen lapo cok” Ruslan mendekati Agus, menepuk2 pipinya, namun, Agus seperti tidak sadarkan diri,

Ruslan kebingungan, lantas ia buru-buru mengambil segelas air ke dapur, meminumkannya pada Agus, namun, ia terus memuntahkannya, tiba2, terdengar suara Lastri berteriak,

Agus belum juga sadar, namun diluar, pintu depan digedor-gedor dengan keras, suara Lastri berteriak seperti orang tengah marah

Ruslan mendekati pintu,

“BUKAK!!” “BUKAK GOBLOK!!”

Ruslan pun membuka pintu, Lastri langsung masuk, ia berjalan pincang, dengan tangan menyeret parang

Ruslan langsung menyusul Lastri, namun, Lastri keluara dari kamar dengan sendirinya, menyeret Agus, ia menjambak rambutnya yg panjang, Agus masih muntah darah, Ruslan mencoba menahan Lastri, namun, tatapan matanya, membuat Ruslan ngeri sendiri, “Mundur koen!!” (mundur kau!!)

“mbah isok diomongno apik apik mbah, gak usah gowo parang nggih” (mbah bisa dibicarakan baik baik mbah, tidak perlu pakai parang ya) ucap Ruslan,

Lastri berhenti, ia menatap Ruslan, menghunuskan parangnya, “mbah”

“mbak maksud kulo, mbak” (maksud saya mbak)

Lastri menyeret lagi

sampai di pintu rumah, Lastri melemparkan Agus, menyeret kakinya sampai ke perkarangan antara rumah Lastri dan rumah tempat tinggal mereka

Ruslan yg tidak tahu harus apa dengan situasi ini, lari masuk rumah, ia mengambil pisau di dapur, ia kembali, melihat Lastri sudah menghunus

parang yg Lastri pegang, terhunus di leher Agus,

Ruslan sudah gemetar, kalau sampai Agus di gorok, ia akan buat perhitungan, namun, rupannya, Lastri menjambak rambut gondrong Agus, lalu memotongnya dengan parang, Agus terjerembab jatuh ke tanah, ia berhenti muntah darah

Ruslan mendekati Lastri, menatap segumpal rambut yang dirinya pegang.

Sumber: ChirpStory